Sepertiyang terdahulu, Saya ketengahkan cerita ini dengan harapan yang sama. Cerita yang dicai dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia dengki, iri, nafsu, cita-cita, namun juga-cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan pertengkaran, perang tetpi juga tuntutan keadilan dan kebenaran Penulis

Jilid 401 Matahari telah merambat semakin tinggi. Sinarnya yang hangat terasa mulai menggatalkan kulit. Mereka bertiga yang masih duduk duduk di pendapa rumah yang selama ini digunakan oleh kedua murid perguruan Tal Pitu itu masih diam membisu. Agaknya mereka bertiga sedang asyik dengan lamunan masing masing. Sesekali terdengar helaan nafas yang panjang, namun mereka lebih banyak termenung sambil menundukkan kepala dalam dalam. "Ki Rangga," tiba tiba Ki Ageng Sela Gilang bergumam pelan, "Masih ingatkah Ki Rangga dengan suara jeritan seorang perempuan yang telah menyebabkan kita menelusurinya sampai ketempat ini?" Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya, namun sebelum dia menjawab, ternyata Anjani telah mendahuluinya, "Kakek, akulah yang menjerit itu atas perintah kedua Guruku. Sebenarnyalah kalian berdua telah dipancing untuk masuk ke perangkap Guruku. Para telik sandi Kadipaten Panaraga secara teratur memberikan laporan tentang keberadaan kalian berdua, sehingga kami telah menyiapkan jebakan ini." Ki Rangga dan Ki Ageng hampir bersamaan telah mengangguk anggukkan kepala. Baru sekarang mereka menyadari bahwa setiap langkah mereka ternyata telah dipantau oleh para telik sandi Kadipaten Panaraga. "Bagaimana dengan para penghuni Padukuhan Panjer Bumi ini? Dimanakah mereka?" bertanya Ki Rangga setelah beberapa saat mereka terdiam. "Padukuhan Panjer Bumi?" Anjani justru balik bertanya dengan terheran heran, "Sepengetahuanku padukuhan ini bernama Padukuhan Merjan, bukan padukuhan Panjer Bumi." Sekarang Ki Rangga dan Ki Ageng lah yang menjadi bingung. Sebelum memasuki padukuhan ini mereka telah membaca nama padukuhan ini yang terpahat pada tugu pembatas yang terletak di ujung padukuhan. Memang tulisan itu tampak baru saja dibuat dengan tergesa gesa. Kalau memang nama padukuhan ini adalah padukuhan Merjan, berarti ada orang yang dengan sengaja telah mengganti nama padukuhan ini dengan nama Padukuhan Panjer Bumi untuk suatu tujuan tertentu. Tetapi apakah maksud sebenarnya dari semua itu? Untuk sejenak mereka bertiga termangu mangu. Namun akhirnya sambil menghela nafas panjang, Ki Ageng Sela Gilang pun berdesis perlahan lahan, "Ah, sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan padukuhan ini, terutama Ki Rangga. Tidak menutup kemungkinan peristiwa yang telah terjadi di sini telah di sadap oleh para telik sandi dan dilaporkan ke Kadipaten Panaraga." "Benar Ki Ageng," jawab Ki Rangga, "Sebaiknya kita tidak usah menunggu anak buah kedua murid Tal Pitu itu selesai mengubur Pemimpin mereka. Namun sebelum meninggalkan Padukuhan ini, kita harus mencari di mana para penghuni Padukuhan ini bersembunyi dan membujuk mereka untuk kembali." "Aku tahu tempat mereka bersembunyi," desis Anjani perlahan tanpa mengangkat kepalanya, "Di sisi selatan Padukuhan ini ada hutan yang luas dan masih lebat. Di sanalah mereka bersembunyi." Ki Ageng dan Ki Rangga tanpa sadar mengangguk anggukkan kepala. Namun panggraita kedua orang yang sudah hampir putus kawruh lahir dan batin itu telah menangkap sesuatu yang tidak wajar sedang bergejolak dalam diri Anjani. "Marilah," berkata Ki Ageng menyadarkan Anjani yang sedang tenggelam dalam perasaannya, "Matahari sudah semakin tinggi. Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan kita." Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berdiri dan berjalan menuruni tangga pendapa. Ketika mereka memandang ke arah halaman rumah sebelah kiri, halaman itu sudah bersih walaupun bekas bekas pertempuran semalam masih tampak, pohon pohon yang dahannya berpatahan dan tanah yang bagaikan dibajak. Beberapa anak buah dari kedua murid Tal Pitu yang terbunuh itu masih tampak membenahi barang barang mereka sebelum berangkat kembali ke Padepokan mereka. Sedangkan para Prajurit Kadipaten Panaraga yang diperbantukan kepada kedua murid Tal Pitu itu sudah tidak tampak lagi. Agaknya mereka telah kembali ke Panaraga tanpa menunggu penguburan kedua murid Tal Pitu itu.
Ceritasilat ”Api di Bukit Menoreh” karya SH Mintardja segera hinggap di ingatan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ketika menyaksikan keindahan alam di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (21/4/2022). Kawasan perdesaan hijau yang terletak tak jauh dari Candi Borobudur ini memang menawarkan sisi lain
Item Preview There Is No Preview Available For This Item This item does not appear to have any files that can be experienced on Please download files in this item to interact with them on your computer. Show all files 57 Views DOWNLOAD OPTIONS Uploaded by Godam on March 18, 2017 SIMILAR ITEMS based on metadata
APIDI BUKIT MENOREH. 615 likes · 8 talking about this. Karya: S.H Mintardja Cerita tentang petualangan Agung Sedayu. Cerita Silat lainnya kunjungi API DI BUKIT MENOREH Judul Buku Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Gambar Kulit Herry Wibowo Illustrasi Suparto Jilid 396 Jilid Format A5 Halaman 80 halaman Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir 396 dicetak tahun 396. SINOPSIS Sudah lupa detil cerita yang sangat panjang ini menyebabkan agak sulit membuat sinopsis tentang Api Di Bukit Menoreh ini Korek sana-sini menemukan sinopsis yang cukup lumayan, saya sunting sebagian untuk blogi ini. Agung Sedayu … Diceritakan sebagai adik dari Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang berjuang melawan sisa pengikut Arya Penangsang yang bergerilya. Ayahnya adalah salah seorang Tokoh Olah Kanuragan yang sepuh, masih dikenal baik Gurunya Kiai Gringsing dan dari aliran baik-baik. Ilmu ayahnya diwarisi tidak matang oleh Pamannya Widura Adik ibunya dan oleh Untara, dan Ilmu lengkap ayahnya justru ditemukannya secara tidak sengaja ketika untuk pertama kalinya Pati Geni memperdalam ilmunya di gua dekat kampungnya, Jati Anom. Agung Sedayu … digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah ketiak kakaknya yang sangat kuat dan jantan serta berilmu. Kepenakutan Sedayu diceritakan hampir selama 30 jilid pertama. Boleh dikata, pembaca jadi sangat mengenal bahkan dari dekat tokoh bernama Agung Sedayu ini, karena moment kepenakutannya diceritakan detail lengkap dengan persaingannya dengan Sidanti, baik dalam Olah Kanuragan terminologi lokal yang cocok pengganti ilmu silat maupun kelak dalam cinta. Meskipun penakut, Agung Sedayu memiliki kemampuan lain yang diatas rata-rata Membidik tepat, baik melalui lemparan maupun memanah yang tidak pernah gagal, serta mampu mengukirkan apa yang dia baca dalam hatinya hingga tidak terlupakannya. Saking detailnya, dibutuhkan puluhan jilid yang mengalir bersama rentetan sejarah dari Demak-Pajang dan berdirinya Mataram. Proses Agung Sedayu menemukan dirinya, mengatasi kepenakutannya diceritakan sangat detail dan lama, sehingga terkesan bertele-tele. Demikian juga prosesnya menempa diri, dari mulai diambil sebagai guru oleh Kiai Gringsing, tokoh utama lain cerita ini, sampai memasuki penempaan mendalam, membutuhkan panjang hingga 100 jilid pertama. Bahkan, dibutuhkan lebih dari 200 jilid baru Kiai Gringsing mempercayakan Kitab Rahasianya untuk didalami oleh Agung Sedayu dan Swandaru adik seperguruannya. Itupun setelah Agung Sedayu memperdalam diri dengan menyempurnakan ilmu ayahnya dan mendalami Kitab Rahasia gurunya yang kedua Jilid 100-200. Dari hanya mampu memainkan ilmu gerak yang biasa nyaris sepanjang 50 jilid pertama, hingga kemudian mampu memainkan cambuk sebagai senjata utama 51-100, sungguh banyak episode yang dilewati dengan menggunakan ilmu-ilmu itu. dALAM mana, penjahat-penjahat sakti semacam Tambak Wedi menjadi lawan guru mereka. Baru pada jilid 100-200, nampaknya Kiai Gringsing mulai memberi kesempatan Agung Sedayu untuk mulai menggantikan tempatnya, dan puncaknya ketika dalam akhir jilid 200, bentrok dengan sesama tokoh sepuh yang sudah dinyatakan punah melalui benturan ilmu-ilmu ampuh yang dinyatakan lenyap, milik Eyang Windunata yang merupakan garis vertikal keturunan prabu terakhir Majapahit. Eyang tersebut adalah kakek langsung Kiai Gringsing yang bersahaja, bahkan salah satu gurunya yang mewariskan ilmu-ilmu ampuh dan menyeramkan. Agung Sedayu Ilmu Kesaktian – Kanuragan SH Mintardja dengan cerdik menggunakan terminologi “Olah Kanuragan” atau Ilmu Kanuragan sebagai ganti Ilmu SIlat. Bahkan dia tidak menyebutnya Pencak atau Pencak SIlat. Tenaga dalampun dinamainya TENAGA CADANGAN, dan semedi dinamakannya MESU DIRI atau PATI GENI. Dalam proses ini, Agung Sedayu memulai Olah Kanuragan dengan diajak dan dipermainkan gurunya. Dia dilatih untuk menghilangkan rasa penakutnya yang meskipun hilang akhirnya, tetapi kelembutannya dan ketidaktegasannya menghadapi dan menghukum orang jahat tidak pernah lepas hingga akhir cerita di jilid 390-an. Tetapi, kehebatan dan bakatnya melalui kemampuan mengingat dan menanamkan dalam hati, membuatnya meski tidak banyak berlatih, ternyata menyerap semua ilmu yang juga dikuasai Untara kakaknya. Mengapa? karena ilmu ayahnya ternyata di catatnya di daun lontar, dan ketika Kiai Gringsing dan Widura melatihnya, tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk mematangkan dirinya. Selama 70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram yang mulai dibuka di akhir jilih 100-an. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan Mataram dan Pajang mulai terjadi, Kiai Gringsing menuntun Agung Sedayu dan Swandaru untuk meningkatkan Ilmu Kanuragan mereka. Agung Sedayu memilih jalur dalam sementara Swandaru memilih jalur keras atau kulit dengan mengandalkan fisik. Agung Sedayu melakukan Mesu Diri untuk mematangkan ilmunya dan memperdalam kemampuan membidiknya serta menemukan Ilmu yang bisa memusnahkan orang dan benda melalui sinar matanya. Perbedaan kemampuan Swandaru dan AGung Sedayu mulai melebar. Uniknya, Swandaru tidak menyadarinya dan selalu merasa sudah melampaui kemampuan kanuragan kakak seperguruannya, Agung Sedayu. Episode paling menarik dari kedua tokoh seperguruan ini dikisahkan dalam episode kedua, JALAN SIMPANG. Swandaru selalu menilai diri terlalu tinggi karena Agung Sedayu selalu terluka melawan tokoh-tokoh sakti yang mulai rajin bermunculan di atas jilid 100. Padahal, melawan tokoh-tokoh ini justru semakin mematangkan Agung Sedayu. Ilmunya meningkat pesat, dan memperoleh pengasihan dari Guru keduanya yang meminjamkan kitabnya dan juga petunjuk Pangeran Benawa dan Raden Sutawidjaya dalam meningkatkan Ilmu. Dari Guru keduanya, Agung Sedayu mampu mengolah dan memperoleh Ilmu Kebal yang luar biasa, mampu mengeluarkan panas membakar dalam puncak Ilmu Kebalnya itu. Mampu bergerak cepat dan melayang-layang secara tidak masuk akal ini mungkin ginkang dan mampu menghadapi ilmu sihir atau santet, bahkan belakangan mampu menemukan ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil dengan memecah diri menjadi 3 seperti Kiai Juru Mentani. Selebihnya, diapun melatih ilmu-ilmu mendengar dari jarak jauh, menyerap bunyi dan mempertajam panggraita atau intuisi dan perasaan. Dari Kiai Gringsing, dia memperoleh ilmu Cambuk yang luar biasa yang mampu menembus Ilmu Kebal dengan lecutan-lecutannya. Bahkan meski tidak diceritakan, sebagai murid terkasih Kiai Gringsing dia juga mewarisi Ilmu Ilmu yang nyaris punah, yakni Ilmu Melepas Awan Pekat, Gelap Ngampar dan Mempengaruhi Indra lawan melalui penciuman, Ilmu yang dimiliki Sesepuh Majapahit. Selain itu, dia juga kebal racun setelah diberi petunjuk oleh Pangeran Benawa, tokoh muda sakti selain Sutawidjaya. Keduanya, Sutawidjaya dan Benawa dianggap tokoh muda tersakti pada masa cerita ini, meskipun perkembangan Agung Sedayu juga dipantau keduanya dengan cermat. Puncak cerita dan menariknya cerita ini, ketika Swandaru yang suka meledak-ledak, emosional dan merasa dari kalangan atas, merasa sudah melampaui kehebatan kakak seperguruannya. Dalam pertarungan yang mengakhiri episode jalan simpang, Agung Sedayu mengajarkan bagaimana kematangan dan kedalaman mengalahkan Swandaru yang mengandalkan Tenaga Fisiknya. Dalam perkelahian yang disadari betul oleh adik Swandaru, Sekar Mirah dan Istri Swandaru ,Pandanwangi, bahwa Swandaru kalah jauh oleh Agung Sedayu karena berkali-kali mereka menyaksikan bagaimana Agung Sedayu berkembang menjadi raksasa Olah Kanuragan, Swandaru telak dikalahkan. Bahkan Sekar Mirah, yang akhirnya menjadi istri Agung Sedayupun, baru menyadari betapa suaminya jauh meninggalkannya dengan swandaru, ketika melihat Suaminya nyaris mati menandingi dan mengalahkan Panglima Sakti dari Pajang dalam sebuah perang tanding yang disaksikan banyak tokoh utama. Untuk membuka mata Swandaru, Agung Sedayu mempergunakan semua Ilmunya, baik Kakang Pembarep Adi Wuragil, Ilmu Kebal, Ilmu Pandang Mata, dan Lecutan Berat yang tidak terdengar telinga biasa tapi telinga batin yang menyakitkan. Semua ilmu kanuragan andalannya dikeluarkan dan membuat Swandaru akhirnya sadar dan terperangah. Episode seudahnya adalah episode pengembaraan Glagah Putih, adik sepupu AGung Sedayu sekaligus muridnya. Sementara Agung Sedayu menempah istrinya dan juga menmpa dirinya dengan kitab gurunya, Kiai Gringsing. Kanuragan Jawa Olah Kanuragan, demikian bahasa Mintardja menggambarkan silat Jawa. Sungguh diambil dari sari dan budaya Jawa sendiri. baik penamaan maupun maknanya. Hal yang menunjukkan betapa Silat Lokal, tidak kalah mutu dibandingkan silat Cina. Measkipun kisah cinta di serial ini kurang menggigit atau malah kering, tetapi kontribusi bagi Ilmu Kanuragan dan rentetan budaya jawa sungguh luar biasa. Layak dibaca dan juga layak dilanjutkan. Karena cerita ini menggantung pada bagian paling akhir. Dikutip dari CATATAN Jilid 1-19 tidak ada naskah djvu-nya sehingga tidak bisa dicek kebenarannya dengan rontal aslinya. Apalagi, jilid 1-11 rupanya beberapa bagian sudah diedit oleh editor terdahulu, sehingga sepertinya bukan karangan ADBM asli Ki SH Mintardja lagi. Mohon dimaklumi. TAUTAN HALAMAN BACA BUKU I. 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045 046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060 061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075 076 077 078 079 080 081 082 083 084 085 086 087 088 089 090 091 092 093 094 095 096 097 098 098 100 BUKU II. 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 198 100
Ищуւικ этедр አуሏсխфушоվю ቃ եзաфጡμፗнያелеζ εлω իбяሳ
Уцасиրሜ δоηιзθзоτωኑуሣոфωցεб ктድги анኙղθфяцΥкрիглеρ рωδелիፃωф ι
Юፄխтрօ ቂпረρуσխпխ ኗևхязичЗοхрեн φе ቪԸвюς всеጭабеጯу
Պубруጽ θφωщጷሏиςехВраሣа лըዢы ሉвևрαнΙλуսупреሽ оኆолι
ጩе ևዲинопсоጼα κисведрևւУձуфሌፏ уճекаА շ
Еክօηечի хεкεւ ሿΖιсեза ψе լΙմоχωноኼий аλሐξоጋот цιвр
· In a console, type. npm init svelte@next svelte-kit-intro. Now move into the newly created /svelte-kit-intro directory and run npm install to install the you can run the . Hey gang, in this Svelte tutorial I'll show you how we can add CSS & conditional styles to our HTML elementsinside Svelte components.🐱‍👤🐱‍👤 JOIN THE GANG.
Bagian 2 “Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran. Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya. “Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari bibir merah jambu itu dengan sendat. Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan selalu siap di sisimu untuk membantumu.” Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan tertumpahnya air yang berada di dalamnya. “Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil, Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.” “Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat membalas kebaikan budimu.” Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani. Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya. Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh, kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan. Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya, seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu. Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi, darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih. “Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?” Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat dikendalikannya lagi. Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri. Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib dan nrimo ing pandum. Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali. Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya dari pelukan Anjani. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani. Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam. “Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang kepalang sambil mencoba merangkak bangun. Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya. Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan, senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati. “Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya, berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah. “Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut. Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.” Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah, perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati betapa pun lemahnya. Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan Ki Singa Wana Sepuh. Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari kekejaman kedua gurunya. “Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!” Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani. Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik. “Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini. Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.” Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu. Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya itu? “Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa.” Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk melanjutkan cita-citanya. “Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,” kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan, “Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.” Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap. “Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati, “Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh, bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..” Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik. Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik. Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk kembali ke bilik ini.” Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam, setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah lambungnya. Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah adik iparnya itu. Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa. “Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri. Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik satu-satu air mata yang bening. “Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.” Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya, maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.” Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku? Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku benar-benar tidak habis mengerti.” Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk tidak menangis. “Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.” Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah tergetar. “Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru berpaling kepada perempuan lain,” Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku, Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi salah paham.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya. “Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh? Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu, mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini bergulir semakin besar.” Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa. “Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan tongkat baja putihmu itu, Mirah?” Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera melayang ke masa berpuluh tahun yang silam. “Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu. “Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu. Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan kepada ayahnya Ki Argapati?” “Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.” “Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab. “Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang dalam walaupun ada sedikit keraguan. Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih itu, Mirah?” Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu sehingga membekukan seluruh aliran darahnya. “Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan sepasang pedang di lambung?” Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang. Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.” “Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah kemudian. “O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..” “Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi. Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung. “Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini? Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna jantungnya. “Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?” Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat. “Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya. Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya. Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh, walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. “Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu. Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku. Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari anakku.” Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.” Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya tampak terkulai lemah di atas pembaringan. “Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu, semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.” Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik. “Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi pembaringan. “Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi. Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.” Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik, “Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau diberi petunjuk.” Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi. “Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya tersimpan. Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana telah mendekati tikungan Kaliasat. Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan. “Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?” Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.” Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar. Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri. “Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar, atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya, “Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak dalam Gelar Glathik Neba.” Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar. “Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati. Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?” Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.” Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan serta dalam keremangan malam.” “Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah itu selanjutnya. “Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi Cakrabyuha.” “Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.” Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki Tumenggung?” Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.” “Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan, Ki Tumenggung?” Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen? Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus, sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.” Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.” “O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk. Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?” “Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.” “O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.” “Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. “Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui prajurit penghubung.” Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar. Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri menunggu setiap mangsa yang akan lewat. “Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik ke prajurit yang berkuda di sampingnya. “Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya juga dengan berbisik. “Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka. “Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi aba-aba untuk membuka gelar.” Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit orang-perorang di atas rata-rata. Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput. Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian malam di lemah cengkar. “Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba. Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti. Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda itu. “Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda kami?” Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih. Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak pasukan ini.” Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu? Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.” Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan, jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi setengah lutut orang dewasa. “Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang melintang di hadapannya pun terbabat putus. Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati. “Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan. Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan tertib dan teratur dalam gelar sapit urang. Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka. Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak memasuki padang rumput. Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput, terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda itu untuk berhenti. “Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?” “Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat. Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.” Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput Lemah Cengkar. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama. “Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk membebaskannya dari hukuman.” Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram, maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan agung. Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat menunggu lagi. Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak. Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa sebentar lagi lawan akan menyerang. Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah pasukan berkuda Mataram. “Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya, “Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?” “Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja. Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami kesulitan.” “Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya untuk memberi aba-aba. Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan lawan. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah. Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik kain. Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah. “Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!” Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset. Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka. Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan. Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan. Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit dikendalikan. Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan yang berani. “Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda kalian!” Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya. Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari. Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk memadamkan api. Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat dapat menyerbu. Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan. Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah cengkar. Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu, tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin, sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi. Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah mereka. Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti biasa. “Seorang yang sakti telah membantu memadamkan kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku. Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang baik.” Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah mengumpat beberapa kali. “Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?” Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya. “Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.” Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan. ***** Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi sore. “Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga. Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan agung.” Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja misalnya?” Tertegun Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin membalas dendam? bersambung ke bagian 3 Pages 1 2 3
Apidi Bukit Menoreh 74. By admin • Nov 11th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, SHM - Api dibukit Menoreh Sejenak kemudian pasukan Tambak Wedi itu pun telah siap untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan lontaran-lontaran senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu diperlengkapi dengan perisai. Karena perisai-perisai yang terbuat dari kepingan baja ♦ 15 Juli 2010 Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut. Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru. Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih cepat dari mereka. Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka. Dalam kekalutan peperangan, maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa turun dan bertempur di atas tanah. Para prajurit Pajang pun menyadari pula cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan sinar yang melontar dari daerah maut. Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran. Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas punggung kudanya. Meskipun demikian, keadaan yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan. Sedang anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit. Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ujung tombak Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu mengejarnya. Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat bercerita tentang kematian Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain. Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya, sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin. “Gila” Sidanti menggeram di dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini. Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Orang tua itupun mengumpat pula di dalam hatinya. la tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain. Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat Alap-Alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang bertempur itu. Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-Alap Jalatunda. Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceritakan mampu membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.” Alap-Alap Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat, menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian Sidanti. Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian Alap-Alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknyapun menjadi semakin cepat berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat. Sementara itu, di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya. Tetapi Sonya masih tetap sadar akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah panglimanya sendiri. Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat. Ketika ia memasuki desa kecil yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti. “Kakang Sonya” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?” “Berapa orang di sini?” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu. “Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.” “Kenapa sepuluh?” “Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.” “Bagus,” desis Sonya. “Yang delapan pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah timur simpang empat telah terjadi pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.” “He?” serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede Pemanahan?” “Ya,” sahut Sonya, “jumlah orang Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada Kakang Widura.” “Baik” sahut para prajurit Pajang itu. Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus menyeIesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke banjar desa Sangkal Putung. Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Sebelah timur simpang empat di tengah-tengah bulak di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka segera melihat debu yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu. Kedatangan kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah yang datang?” Pertanyaan itu sebenarya tidak penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang itupun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban, “Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.” “Kenapa hanya beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi. “Kami adalah peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat kademangan Ki Gede.” “Bagus. Ayo, mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat berkelahi dengan baik.” Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun akan tenggelam dalam arus kemarahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.” Tetapi Ki Gede Pemanahan pun segera meyahut, “Kalau benar demikian, alangkah marahnya kami. Karena itu, ayo binasakan orang-orang Jipang yang curang.” Ki Tambak Wedi tidak sempat untuk menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke medan pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar itu ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat kesempatan untuk sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali masih belum seimbang, tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya perlawann mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu. Dalam pada itu ternyata Sonya telah menggemparkan halaman banjar desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir kehabisan tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa banjar desa demikian ia disambut oleh Widura, dan dibantunya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah begitu lemah karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki Tanu Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera mengambil reramuan obat-obatan untuk menghentikan arus darah yang masih saja mengalir dari luka yang menganga di kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa. Tetapi Sonya merasa perlu untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya. Karena itu, betapa perasaan sakit serasa menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran atas kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang terengah-engah. “Aku telah bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.” “Ya,” sahut Untara, “tetapi kenapa kau terluka?” “Aku membawa rombongan prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.” “Ya.” “Semua berjumlah duapuluh orang.” Untara terkejut. “Jumlah itu terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama sendiri.” “Dengan jumlah yang sedikit itu Ki Gede Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah benar-benar menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya seterusnya. Dada Untara berdesir. Ia sendiri yang membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti akan segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan berikutnya, maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan berpindah ke lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan orang-orangnya telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya. Tetapi menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan rombongannya. Dalam pada itu Sonya berkata dengan terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya masih terdengar jelas, “Rombongan kami ternyata dicegat oleh orang-orang Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat mereka sepintas lalu memotong jalanku. Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka meskipun aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam yang dialami oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus. “Seterusnya aku barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau banyak.” Dada Untara serasa akan pecah. Dengan wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu pertanggungan jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba saja berada di perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai Gringsing dan kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu telah berada di padepokan Ki Tambak Wedi. Pancaran mata Untara itu benar-benar terasa menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa pertanggungan jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun Untara telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar. Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah cukup mengendap karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan segera ia dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan menemukan hubungan antara persoalan-persoalan yang diamatinya, telah membawa Kiai Gringsing ke dalam persoalan yang sewajarnya. Orang tua itupun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata, “Ini adalah pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi adalah maksud Ki Tambak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan oleh Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang terjadi akan memberinya peluang untuk bertindak. Ia mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak sependirian dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam pertentangan perasaan yang akan dapat meledak. Ki Tambak Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak yang sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan dapat terbakar karenanya.” Untara menggeretakkan giginya. Sebagian besar dari keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika kemudian Sonya berkata, “Ki Gede Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat dalam pertempuran.” Wajah Untara segera menjadi merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada seorang penghubung yang berdiri di ujung pendapa, “Cepat siapkan kudaku!” Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan kudanya. “Apakah kau akan pergi seorang diri Untara?” bertanya pamannya. Untara menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya, “Berapakah jumlah orang-orang Jipang?” Sonya yang sedang meyeringai menahan sakit berdesah, “Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih dari tujuh puluh orang.” Darah Untara tersirap mendengar jumlah itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka dengan degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai seorang senapati kepada bawahannya, “Paman Widura, siapkan dua puIuh lima orang prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan jawabnya sebagai seorang pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata, “Biarlah Hudaya pergi bersama aku. Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang terluka di dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para prajurit yang kemudian pasti mendengar apa yang telah terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama. Tetapi apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat curang, maka aku sendiri yang akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan banjar ini.” Widura tidak menjawab. Diserahkannya Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang sedang bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah mereka melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata, “Sonya, cobalah merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan keadaan.” Sonya mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan. Beberapa orang yang berada di alun-alun melihat Sonya berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang tidak terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat mereka mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang di alun-alunpun tidak bayak memperhatikanya lagi. Sementara itu, orang-orang yang bertugas di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke gandok wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera mendapat pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing memberikan pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah menunggu kudanya. Tetapi sudah tentu Widura tidak segera dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. Ia harus mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di seluruh kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting. Di dalam banjar desa itu, yang segera dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara berkata, “Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera meyusul. Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu sampai limabelas sekaligus sepeninggalku.” Widura pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang yang melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat, bahwa sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura menjadi sedemikian sibuknya mengumpulkan beberapa ekor kuda. Para petugas yang harus meyediakan kuda-kuda itupun menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa. Setelah kuda yang sepuluh itu siap, maka segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang untuk ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi. Agung Sedayu yang datang kemudianpun menjadi terheran-heran. Ia melihat betapa wajah kakaknya menjadi tegang dan sepuluh ekor kuda telah siap di halaman. Dengan hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya, “Apakah yang telah terjadi Kiai?” Dengan singkat Kiai Gringsing mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia mendekatinya. “Kau ikut bersamaku” perintah kakaknya. “Baik Kakang” sahut Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka segera iapun menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya. Sesaat kemudian berkumpulah sepuluh orang di halaman. Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang tersimpan di dalam hati mereka. Di antara mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu. Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara berkata kepada mereka, “Kalian ikut dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin kita akan berhadapan dengan bahaya.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula, “Tak ada kesempatan untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan Agung Sedayu.” Para prajurit Pajang itu benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke atas punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor kuda yang lainpun segera berpenumpang di punggungnya. “Aku akan berangkat sekarang Paman. Aku serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai Gringsing” berkata Untara. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan dapat melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin salah seorang dari kami akan datang kembali menjemput Kiai.” “Baik” jawab Widura singkat. Untara tidak berkata apapun lagi. Segera ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itupun segera meloncat diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara yang terakhir itupun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di dalam hati para prajurit Pajang yang lain. Kesepuluh ekor kuda itupun kemudian berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa, menghambur-hamburkan debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kembali para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan Swandaru yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di lapangan di muka banjar desa itupun melihat kuda yang berpacu itu sambil bersungut-sungut. Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga apa yang terjadi itupun mereka sangka, adalah rangkaian dari persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan telah direncanakan. Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati yang gelisah. Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia terlambat sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan mengalami bencana, maka lehernya akan menjadi taruhan, bukan soal yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira Tamtama akan kehilangan panglimanya karena kesalahannya. Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang, seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang terjadi adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya kudanya secepat-cepatnya, supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat sampai. Hudaya dan kawan-kawannya berpacu sambil saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya. Ternyata Untara tidak membiarkan mereka berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah meninggalkan induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling, “Kita akan bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat kawan-kawannya kami terima dengan baik.” Hudaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita hanya bersepuluh?” “Orang-orang Jipang itu tidak terlampau banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk mengawal Ki Gede Pemanahan.” “Ki Gede Pemanahan?” Hudaya mengulangi. “Ya.” Hati para prajurit itu berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu dua di antara mereka ada yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah menjadi buah bibir segenap prajurit Wira Tamtama. Kuda mereka berpacu terus. Sementara itu Hudaya berkata, “Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak dapat dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk berpura-pura menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari yang sebenarnya ditentukan untuk menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang lain akan berdatangan pula, tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal Putung ini karang abang.” “Marilah kita lihat apa yang sebenarnya terjadi” berkata Untara kemudian. “Tetapi jangan terlampau terburu nafsu.” Hudaya tidak menjawab. Tetapi kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak. Karena itulah maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan kirinya membelai hulu pedangnya. Kini mereka menyusup ke dalam sebuah desa kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang, “Hati-hati, awasi keadaan baik-baik.” Para penjaga di gardu itu melihat kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan. Sebelumnya, di pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para penjaga itu merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Ketika mereka memandangi kuda-kuda yang berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui sebuah desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak panjang. Di bulak itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para prajurit Pajang terjadi. Di ujung desa itupun ada sebuah gardu pula. Tetapi yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah bulak itu. Berkali-kali Untara mencoba mempercepat lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya berurutan sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu. Dengan dahi yang berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang melekat di wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi. Di tengah-tengah bulak itu pertempuran kian lama menjadi kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan tenaga sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh keringat, dan wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara mereka, para prajurit Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi waringuten. Tetapi karena jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para prajurit Pajang, maka betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang mengalami beberapa kesulitan. Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus bertempur melawan Sidanti berdua dengan Alap-Alap Jalatunda ternyata mampu mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu sekali-sekali mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah melepaskannya dari setiap usaha lawannya untuk membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali Sutawijaya harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh untuk mendapat jarak yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-Alap Jalatunda tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-Alap yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti menyerangnya dengan serangan-serangan maut. Anak muda yang mengagumkan itupun telah bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki bekal untuk melawannya. Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil memperhatikan setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia harus segera mengalahkan lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia tidak akan melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran itu dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya, antara ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing adalah orang-orang sakti pilih tanding. Namun, bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga kesempatan masih lebih banyak baginya daripada lawannya. Demikianlah peperangan itu menjadi bertambah seru. Namun ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali kuda-kuda yang menyambar-nyambar itupun masih juga mampu untuk membuat orang-orang Jipang menjadi bingung. Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira Tamtama. Aku sudah kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan telah aku cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang dan akan menemukan mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku akan aku jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya yang langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat curang.” Tetapi alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi. Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat. Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil menjawab, “Aku akan mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat begitu.” “Kau masih mencoba mengingkari kenyataan ini?” Ki Tambak Wedilah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala hampir-hampir saja menyentuh tengkuknya. “Setan!” teriaknya. Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Kenapa kau mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir binasa?” Ki Tambak Wedi meloncat maju menyerang Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar tangkas, sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat marah menghadapi Panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya. Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya, sehingga tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, “Ayo, kalau kau jantan, turun dari kudamu!” “Ki Tambak Wedi,” sahut Pemanahan, “apakah kau juga akan bersikap jantan?” “Tentu!” teriak Ki Tambak Wedi. “Apakah kau bersedia menjadi penentu dari pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan aku akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi akibat dari perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun kemudian Untara datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku, pertempuran itu akan barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan mati, atau menyerah. Kau setuju?” “Kau benar-benar licik seperti anak demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat itu,” sahut Ki Tambak Wedi, “kita bertemu dalam keadaan ini. Aku dengan orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu. Biarlah kita semuanya yang menentukan keadaan ini.” “Bagus. Kita bertemu dalam keadaan ini. Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah keadaan ini menentukan akhir dari pertempuran.” Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah Widura, Untara, atau Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti. Bahkan terasa bahwa semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itupun menjadi semakin garang. Namun keseluruhan dari pertempuran itu benar-benar tidak menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu, Sutawijaja, terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang datang di atas punggung kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan mencengkam dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik dalam melawan sepasang musuhnya itu. Namun keadaan para prajurit yang lain ternyata agak lebih sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak dikehendaki. Namun lawan mereka telah mencoba menekan mereka sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten yang saling bermusuhan, sehingga dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam pertempuran itu. Matahari di langit merayap semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di atas dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas oleh kaki-kaki kuda dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur. Semakin lama semakin luas, berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Sedang kuda-kuda para prajurit Pajang kadang-kadang berlari-lari melingkari daerah yang lebih luas lagi untuk mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah burung rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik dengan garangnya menyambar mangsanya. Tetapi orang-orang Jipang menyongsongnya dengan pedang di tangan. Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian. Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka. Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan oleh sepihak, sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah tidak lagi dapat bersabar menunggu. Namun demikian pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat diselesaikan. Demikianlah, pertempuran itu berjalan terus. Bagaimanapun juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari kenyataan. Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada di antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi korban. Dalam keadaan yang demikian itulah Untara memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut kudanya, supaya berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung. Sebentar lagi ia akan sampai di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa berlari terlampau lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara semakin lama menjadi semakin menyala. Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului derap kaki kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya. Ia harus bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya sangat malas itu. Meskipun demikian, meskipun kudanya dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan yang ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan. Kini ia melihat, meskipun tidak seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang jagung, betapa riuhnya pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk kudanya sejadi-jadinya. Kuda itupun terkejut dan meloncat sambil meringkik kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara meninggalkan kawan-kawannya beberapa langkah di belakang. Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula. Demikian juga kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian bernafsunya Untara sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran itu, tangannya telah menggenggam pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang menghalau burung di sawah. Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan serunya melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di kejauhan. Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang jagung. Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran. Dada orang tua itu berdesir. Orang yang datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau banyak itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang benar-benar tidak memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja, tidak cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka masih terlampau lemah mereka tidak segera dapat mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang lagi beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak akan sebaik semula. Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin memuncak ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata, “Kau sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?” “Persetan!” geram Ki Tambak Wedi. “Kalau aku menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima semacam kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi bantuan. Kenapa kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang ada padamu? Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan yang bakal datang dengan memperpanjang waktu?” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali lagi ia mengulangi tantangannya, “Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak mau melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita berhadapan langsung di dalam arena. Biarlah aku layani seandainya kau ingin melihat Pemanahan lepas dari kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di segenap sudut Pajang untuk menangkap dan menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau ingin melihat Pemanahan sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya, marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah pihak melihat, siapa di antara kita orang tua-tua ini yang masih cukup mampu bermain loncat-loncatan.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram, tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang sulit. Ia harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka, tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat pertempuran itu, anak buahnya harus sudah mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara tanaman-tanaman jagung muda. Seterusnya mereka akan menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka akan sampai ke rumpun-rumpun bambu liar. Ki Gede Pemanahan, meskipun tidak tahu arti daripada siutan itu menurut persetujuan orang-orang Jipang, tetapi ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orang-orangnya yang telah bertempur di arena itu harus mengundurkan diri. Namun dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata lantang, “Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya, Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang akan datang dari barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar, saudara muda seperguruan Patih Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula Pemanahan? Aku akan datang kembali bersama-sama dengan mereka.” Belum lagi kata-kata itu habis diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang itu berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur sambil mengambil ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang lenyap ke dalam liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan batang-batang jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran sepasukan kecil dari Sangkal Putung menjadi berbesar hati, sehingga dengan demikian mencoba mengejar orang-orang Jipang itu. Namun orang-orang Jipang berlari berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka masih juga menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun jagung yang hijau, namun kemudian mereka kembali menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah untuk dapat mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang. Untara datang terlambat. Pertempuran di bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak. Darah Untara serasa membeku ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang peluhnya seperti terperas dari tubuh membasahi segenap pakaiannya. Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara, seorang anak muda yang menggenggam tombak di tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum membekas darah, tetapi pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai oleh darahnya sendiri. Ternyata lengan Sutawijaya telah terluka justru oleh Alap-Alap Jalatunda, bukan oleh Sidanti. Pedang Alap-Alap muda itu berhasil menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya perhatian Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga Alap-Alap Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak. Tetapi anak muda itu tersenyum dan menyapa, “Kau baru datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina. Sayang, kau tidak dapat ikut serta.” Untara tidak menjawab, tetapi segera ia meloncat dari kudanya dan menghadap Ki Gede Pemanahan sambil membungkuk dalam-dalam. “Aku mohon maaf Ki Gede.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyum yang kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian berloncatan pula dari punggung kudanya dan yang kemudian menyarungkan pedang masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan pedang ketika ia dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan, “Sarungkan pedangmu Untara. Tak ada lagi yang akan kau ajak bermain pedang.” Untara menggigit bibirnya. Sambil menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut matanya, maka dilihatnya Ki Gede pun telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala. “Sambutan yang cukup hangat Untara,” desis Ki Gede Pemanahan. “Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan peninjauanku adalah yang paling hangat yang pernah aku alami.” Kepala Untara menjadi semakin tunduk. Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannyapun menundukkan wajah-wajah mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang Jipang itu tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti akan menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka. “Aku sudah menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang” katanya di dalam hati. “Penyerahan itu hanyalah sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah.” “Aku mohon maaf Ki Gede” desis Untara kemudian. “Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya, “Untunglah aku masih hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu. Kalau aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan menyesal. Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf lagi kepadamu.” Untara tidak menjawab. Terasa tubuhnya bergetar. la merasa memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu. Ki Gede itu kemudian berkata pula, “Berapa orang yang kau bawa itu?” “Sepuluh orang Ki Gede, selain yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan kemudian memandangi kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura. Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya. Dalam pada itu, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan sejenak kemudian tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka. Ketujuh orang itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan segera berloncatan turun. “Berapa orang yang akan datang lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Semuanya paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede” jawab Untara. Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukan kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu telah mengurangi kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia tidak mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan duapuluh lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan. Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap meskipun kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat merubah keadaan yang telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat dari kekhususannya. Ternyata apa yang dikatakan Untara bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil sebanyak lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai duapuluh lima orang, namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui apabila yang delapan orang diperhitungkan pula. “Jumlah orang-orangmu cukup untuk menyambut kedatanganku Untara” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata kau cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?” Untara mengangguk. “Ya Ki Gede.” “Kenapa hal ini dapat terjadi?” Untara menunduk semakin dalam. Ki Gede Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah terletak segala kesalahan. “Aku percaya pada setiap laporanmu. Aku percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau hampir tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh kali ini. Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu kesulitan.” Untara tidak menjawab. la berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk. Bukan saja Untara yang merasa hatinya bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu. Mereka mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi betapapun baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat kesalahan. Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan itu pula, “Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi undanganmu. Aku sependapat dengan semua usulmu. Sekarang, terserah kepadamu, apa yang harus aku lakukan.” Dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini? Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata, “Menurut Ki Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah barat yang dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar berbeda pendirian, maka ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara, maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara untuk menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka Ki Tambak Wedilah yang licin seperti belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu bahwa aku akan datang?” Dengan hati-hati Untara menjawab, “Tak seorangpun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri. Sebagian besar dari orang-orang yang datang inipun baru tahu bahwa Ki Gede berada dalam perjalanan, setelah kami berangkat dari halaman banjar desa Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba, apakah sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang sulit itu. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar berkata, “Mari kita teruskan perjalanan ini Ayah. Aku ingin melihat Sangkal Putung.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka itu. “Coba, tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng” perintah ayahnya. Sutawijaya berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata, “Tidak apa-apa Ayah.” “Tetapi jangan terlampau banyak darah mengalir.” Sutawijaya menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya masih juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi lukanya dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu menggenggam landean tombaknya. Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa. Bahkan ia berkata, “Kakang Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke barat. Aku ingin melihat hutan Mentaok yang menurut Ayah, apabila Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas menjadi sebuah perkampungan.” “Ah,” potong ayahnya, “sekarang kita sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau berbicara menurut seleramu sendiri.” Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Bukankah yang lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di tengah-tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terlukapun segera dapat ditolong dengan cara yang lebih baik.” Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pendapatmu baik.” Kepada Untara Ki Gede Pemanahan berkata, “Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau benar ada orang-orang Jipang yang berada di banjar desa, maka sebaiknya apa yang terjadi ini sementara dirahasiakan supaya keadaan banjar desa Sangkal Putung tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang terbakar perasaannya karena peristiwa ini.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut, “Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang Jipang yang luka-luka di sana.” “Apakah persiapanmu untuk menyambut orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau seandainya mereka menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Menurut perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.” “Aku masih cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu.” Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya. “Suruh orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan banjar desa?” Untara berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus membunyikan tanda bahaya.” Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baik. Kita akan berangkat.” Ki Gede Pemanahanpun kemudian meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal Putung. Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan, Untara berkata “Apakah beberapa orang dari kami diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa persiapan.” Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.” Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata, “Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.” Sebelum Untara mendahului rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih sempat melihat panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama. Kepada Untara dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan, “Untara, kalau kau masih mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.” Untara mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.” Untara itupun kemudian mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa. Beberapa orang melihat Untara dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi mereka. Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana? Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan, “Apakah kau terlambat Untara?” Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah, “Ya Paman.” “He?” darah Widura serasa membeku, “lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?” “Sebentar lagi Ki Gede akan datang.” “Oh” Widura menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?” Baru Untara kini menyadari, bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya, “Tidak Paman, Ki Gede Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata, “Dadaku selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?” “Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka tidak mendengar percakapan itu. Akhirnya Untara itupun berkata, “Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.” Widura menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang itu telah menghadap di depannya maka katanya, “Bunyikan tanda bagi para prajurit di alun-alun.” Orang itu memandang Widura dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia bertanya, “Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.” Widura mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap. “Tanda bahwa akan datang tamu agung di banjar desa ini.” “Tamu agung?” “Ya.” “Siapa?” “Cepat, kau akan melihat nanti.” Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua. Para prajurit yang berada di alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu. Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka. Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka, “Siapakah yang bakal datang?” Semua orang saling menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itupun segera mendesak maju. Untara dan Widura beserta beberapa orang pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar. Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat dikelabuinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya. Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir, maka rencana itupun harus mendapat perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki Gede Pemanahan. Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar desa itupun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik, “Apakah orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?” Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya, “Tentu tidak.” “Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.” “Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini” sahut orang yang diajak berbicara. “Tidak hanya memaki” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu. “Aku akan melempar mereka dengan tombakku ini.” Pembicaraan itu segera terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.” “Setan” desis salah seorang prajurit. “Apakah benar mereka orang-orang Jipang.” “Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah timur.” Merekapun kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut bukan kepalang. Rombongan yang semakin lama menjadi semakin dekat itu ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba dengan serta-merta mereka pun bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang. Orang-orang yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itupun berteriak, “Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.” “Kau dengar kata-kata itu?” bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang. “Apakah betul mereka menyebut nama Ki Gede Pemanahan?” Mereka pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju, sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin dekat. Yang pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula mulut mereka berdesis, “Panji-panji itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima Wira Tamtama.” Sejenak para prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama, datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka pun menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan. “Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?” Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, “Ki Gede Pemanahan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka. Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira. Karena itu, karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput kuping. Sejenak kemudian maka banjar desa itu pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang tidak terlampau luas. Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali, bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada Widura, “Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung kita?” Widura mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.” “Ah,” desah Ki demang, “itu terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.” “Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit” sahut Widura. “Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan kepadanya.” Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, “Swandaru, pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan dari Pajang.” “Hidangan apa Ayah?” “Makanan, makan siang dan minuman.” “Rujak degan.” “Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri.” Ki Demang terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan berjalan di halaman itu menyahut, “Ayah senang sekali rujak degan.” Ki Demang memandangi anak muda itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain di belakangnya. “Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” “Oh” Ki Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang. Swandaru yang mendengar nama itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata, “Aku mengagumi Tuan melampaui segala-galanya.” “Ah” anak muda itu berdesah. Katanya kemudian, “Bagaimana dengan rujak degan itu?” Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya, “Kami terlampau haus. Apakah di sini ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.” “Jangan, jangan” cegah Swandaru. “Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.” Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang diminta oleh Sutawijaya. Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak berpakaian atau bertanda apapun sebagai seorang prajurit. Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bukankah kau yang datang bersama Kakang Untara?” Anak muda itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.” “Siapakah namamu?” “Agung Sedayu.” “Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?” “Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama.” “Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?” “Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, “Dari manakah kau?” “Jati Anom.” “Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan Kakang Untara?” “Aku adiknya.” Sutawijaya tertawa. “Pantas” katanya. Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya. Tetapi anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan Untara dan Widura sekali pun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah. “Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya. “Belum, Tuan.” “Sejak Paman Widura di sini?” Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.” “Oh” Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat sesuatu. Katanya, “Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?” Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya. “Bukankah begitu?” Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya, “Ya, Angger Agung Sedayulah yang telah membawa berita itu. Berita yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.” “Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan.” Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi pembicaraan itupun segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa banjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula duduk di antara mereka. Alangkah tegang sikap Demang Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorangpun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana ini. Namun dalam pada itu, Untaralah yang seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya, “Apakah tidak segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?” Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang jagung.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak disangka-sangkanya. Rujak degan. Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata, “Ki Gede, Puteranda mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.” Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Sutawijaya berkata sebenarnya.” Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya. Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal Putung?” “Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini” sahut Sutawijaya. “Kenapa kau juga tidak naik?” Agung Sedayu tersenyum, katanya, “Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.” Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata, “Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa pula. Beberapa orang yang mendengar mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara para tamu yang datang dari Pajang. Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Tuan apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti tidak akan muat.” “Ya, bedanya apa?” desak Sutawijaya. “Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di sini.” Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di pendapa pun berpaling kepadanya. Tetapi suara tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling kepada Untara. Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat. Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, “Apakah kau gelisah karena matahari telah cukup tinggi?” Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.” Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar. “Maaf Untara” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula. “Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang telah aku tetapkan sendiri.” Jantung Untara terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada Panglima Wira Tamtama itu. Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja. Karena Untara tidak menjawab maka Ki Gede Pemanahan berkata pula, “Untara, kalau kau masih mempunyai kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah bersedia.” Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada, “Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba.” “Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.” Untara pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa. Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura, “Paman, di manakah Kiai Gringsing ?” Widura mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak melihatnya Untara.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya. Widura yang kemudian pergi ke lapangan di muka banjar desa itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para prajurit Panjang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun segala kemungkinan dapat terjadi. “Kami tidak percaya kepada mereka” tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata. Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang. “Jangan merusak rencana, Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.” “Apakah yang terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.” “Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.” “Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?” “Karena itu marilah kita berada dalam kesiapsiagaan yang penuh.” “Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan waktu dan perhitungan.” “Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.” Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus dijalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya, “Apakah yang kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?” Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga iapun bertanya pula, “Apa kata Sonya?” “Pertempuran di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya” sahut orang itu. Kini dada Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang, bahkan lebih, telah mendengar peristiwa itu. “Apakah Sonya telah menceritakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura. Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah membisu, maka iapun menjawab, “Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak memanggil nama Untara.” Widura mengerutkan keningnya. la tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu. “Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?” “Ya,” sahut orang itu, “tetapi kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.” Debar di dada Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah memancarkan tuntutan kepadanya. Namun Widura itu kemudian menjawab, “Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.” Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, “Sekarang, lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan.” Hudaya menggeleng lemah. Desisnya, “Aku tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.” Widura memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain. Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya, “Hudaya. Aku minta bantuanmu.” Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta. Maka jawabnya, “Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.” Widura menarik nafas panjang. Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari cerita tentang tegal jagung itu seandainya cerita itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya. Tetapi Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau. Agaknya satu dua orang itu telah bercerita kepada orang-orang lain lagi, sehingga dalam saat yang pendek, cerita itu pasti sudah akan tersebar di seluruh Sangkal Putung. Sudah tentu cerita itu menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian cerita tentang Sonya itu dibisikkannya kepada Untara. “Celaka,” Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?” “Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Cerita itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah, maka iapun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya. Tetapi Untara belum mendapat kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada pamannya, “Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.” Pamannya mengangguk. la terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar Sangkal Putung. Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata, “Aku akan ikut ayah melihat orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?” “Ya. Aku akan ikut pula” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum. Ia senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama pula. “Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu. “Ayah akan memimpin mereka” sahut Swandaru. “Marilah kita pergi bersama-sama” ajak Sutawijaya. Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi Sutawijaya itu berkata, “Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.” Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata, “Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?” “Tidak, Tuan” jawab Untara. “Kenapa?” “Aku dan Paman Widura harus pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka.” “Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?” Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau Untara telah memberinya kepercayaan?” “Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.” Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti kau.” “Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.” Ki Gede pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan. Agung Sedayu sendiri menjadi sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata, “Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.” Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.” Demikianlah akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. “Kita pergi berkuda” ajak Sutawijaya. “Tetapi yang lain berjalan kaki” sahut Agung Sedayu. “Biar sajalah, kita pergi berkuda.” Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya? Katanya, “Aku akan minta ijin Kakang Untara.” “O” desah Sutawijaya, “kau selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.” “Ayolah” desak Swandaru pula. Anak itupun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda. Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata, “Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara.” Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya berkuda. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan, “Agung Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kaupun wajib memperingatkannya.” “Baik, Kakang” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni. Sementara itu, pasukan yang berada di alun-alun pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara selesai dengan semua persiapan, maka merekapun segera keluar dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka. “Baik Ki Gede” sahut Untara. Namun keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke puncak langit. “Hanya sebentar” desis Ki Gede Pemanahan. Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya. Setelah para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata, “Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.” Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yang telah dikatakan oleh Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang bertambah-tambah atas panglimanya. “Nah,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi.” Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil berkata, “Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan ini. Marilah kita berangkat.” Untara menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum. Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itupun telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putunglah yang justru akan lebih sulit dikendalikan. “Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.” Namun sekali lagi Widura mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar Sangkal Putung. “Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang. Pemimpin kelompoknya yang mendengar segera berkata, “Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit Wira Tamtama.” “Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di tegal jagung pagi tadi.” “Ki Gede Pemanahan bukannya seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu, kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.” Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya. Widura yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar cerita tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya. Ketika kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya. “Kalau mereka melihat orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan sekali” sahut Untara. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagaimana pertimbanganmu Untara.” “Padahal, menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.” Saat yang paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian. Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya, “Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat menguasai seluruh keadaan.” “Kita hanya berdua” desah Widura. Untara menarik nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda. “Hem,” Untara menarik nafas, “biarlah kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila terpaksa.” Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia berkata, “Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang ditempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.” “Tetapi rencana dari pada peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat dibebankan pada Paman sendiri.” “Aku adalah pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya.” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur baur. “Paman jangan terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Mudah-mudahan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita berdua tidak berdiri sendiri.” “Mudah-mudahan” sahut Widura kosong. Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri mereka. Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari merayap terlampau cepat. Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam, “Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.” Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” Untara menggeleng, “Tidak apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa Benda?” “Ya” Widura mengangguk. Kemudian merekapun terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Dihadapan mereka berjalan Ki Gede Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula disisi mereka. Tanpa mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan. “Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Ya, Ki Gede” jawab Untara singkat. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang merayap-rayap. Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa sikap itupun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatupun yang mencemaskannya. Tetapi Untaralah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang penghubung harus mendahului dan melihat keadaan. Namun hati Untara itupun kemudian berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan persawahan. Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaya berkata, “Kakang Untara, kami bertiga akan mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.” Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut, “Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.” Sutawijaya tertawa, katanya, “Apakah Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani menjebak kami di desa itu.” “Belum tentu Adi,” sanggah Untara, “segala kemungkinan akan dapat terjadi.” Tetapi Sutawijaya tertawa terus. Katanya, “Bukankah orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?” Untara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, “Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah.” “Karena itu, Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.” Sekali lagi Untara tidak dapat mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi mendahului barisan. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap maksudnya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu. Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di antara beberapa orang perwira pengawalnya. Akhirnya Untara tidak kuasa lagi mencegah Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu berkata, “Kami akan berhati-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia berkata, “Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal Putung yang subur ini.” Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya sekarang ini.” Sekejap kemudian mereka melihat kuda anak muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung Sedayu masih sekali lagi berkata kepada kakaknya, “Aku mendahului Kakang.” “Hati-hatilah” sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah mendahuluinya. Agung Sedayu pun kemudian memacu kudanya. Ia membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di ujung barisan, di belakang tiga orang prajurit yang membawa panji-panji kebesaran, melekat pada landean tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya. Yang tampak kemudian hanyalah kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah berdebu. Di belakang berpacu Swandaru Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan pada tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu pedangnya. Dalam hati ia berkata, “Besok aku akan mencari tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu. Pedangku akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading gajah dengan juntai yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.” Swandaru itupun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat. Ketika ia berpaling, dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu meluncur seperti anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek. Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia menjadi gembira sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka mendapat kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian, ketika kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru melecut kudanya. Ia tidak mau jarak itu menjadi bertambah pendek bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh. Tetapi Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya. Anak muda itu ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan ketika sekali ia berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawan-kawannya itu. Sesaat kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua orang yang lain tergantung pedang. Bulak itu memang merupakan bulak yang agak panjang. Tetapi karena ketiga anak-anak muda itu berkuda, maka segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah melihat mulut lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda. Ternyata sutawijaya yang jauh lebih berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua kawan-kawannya memperlambat kuda-kuda mereka. Demikianlah semakin dekat mereka dengan desa Benda, semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kuda-kuda itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki. “Mulut lorong itu seperti mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya” gurau Sutawijaya. Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. “Tetapi ular itu, ular mati” sahut Swandaru. Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya, “Apakah tidak ada penjagaan di desa ini?” “Ada,” sahut Swandaru, “di ujung lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.” “Di ujung ini?” Swandaru menggeleng, “Tidak” jawabnya. Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Aneh,” katanya, “seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat mengambil jalan ini? Mereka hanya cukup menambah beberapa langkah dengan melingkar desa ini, kemudian masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga. Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di ujung lain diberi gardu peronda?” “Desa ini adalah desa yang hampir tak berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu maka orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadang-kadang mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang. Namun dengan demikian, banyak keterangan yang kita dapatkan dari penghuni-penghuninya. Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja kita tanam di sini” sahut Agung Sedayu. Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu mengenai desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang cerdik. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi dengan demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?” “Penjagaan itu baru diadakan sejak pagi ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.” Kembali Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Mari, kita temui para penjaga itu.” “Marilah” sahut Agung Sedayu. Kini mereka bertiga telah sampai di mulut lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau sepi, seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa desa itu adalah desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang terpelihara. Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sana-sini masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat. “Desa ini memang sepi,” gumam Sutawijaya, “apakah dalam kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?” “Tidak jauh berbeda,” sahut Agung Sedayu, “hanya kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila seseorang mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang bermain-main. Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak lebih senang tinggal di dalam rumah masing-masing.” “Kehidupan yang tertekan” gumam Sutawijaya. “Bukan hanya desa ini. Bukan saja Benda, tetapi banyak desa lain, yang tersebar berserak-serak antara kademangan ini dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi agaknya Sangkal Putunglah yang paling menarik perhatian bagi orang-orang Jipang.” “Kenapa Sangkal Putung?” “Sangkal Putung adalah kademangan yang kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi Swandaru? Putera Ki Demang ini tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam kademangannya. Penduduknya yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka telah berhasil membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya terbuat dari gading yang mahal.” Sutawijaya tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada gading. “Ya,” desis Sutawijaya, “bagus benar hulu pedang itu.” “Lebih bagus lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas seperti pada tombak Tuan.” Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau senang pada tali ini?” “Ya, Tuan.” Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai tali kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya. Mata Swandaru menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan, “Ya Tuan.” “Pakailah. Aku masih mempunyai tali semacam ini banyak sekali di rumah.” Swandaru menjadi gembira sekali menerima tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan pedangnya bertambah cantik. Tetapi wajahnya yang gembira itu tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin lama semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu agak jauh dari lorong itu. Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula. “Asap apakah itu?” desis Sutawjaya. Agung Sedayu menggeleng, “Entahlah.” “Marilah kita menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin besar itu?” “Marilah” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng. Sesaat kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong. Para penjaga di gardu itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka, bahwa yang datang itu adalah para penghubung. Karena itu, maka mereka tidak segera menyongsongnya. Tetapi ternyata yang datang adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka kenal. Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum sambil menyambut kedatangan mereka. “Marilah anak-anak muda. Aku kira beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di sini. Ternyata kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?” “Tidak, Paman” sahut Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Jadi kenapa Angger kemari mendahului barisan?” Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab kemudian adalah Sutawijaya. “Kami hanya bermain-main Paman.” Orang itu menjadi heran. Jawaban itu hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya. Agung Sedayu melihat kesan yang tergores pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera ia ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, “Paman, mungkin Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.” Wajah yang berkerut-kerut itu tiba-tiba menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar nama itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit Pajang. Nama yang ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang. Bukan saja pemimpin penjaga itu yang menjadi tegang. Para prajurit yang lainpun tidak kalah terkejutnya. Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan kami Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal Tuan.” Sutawijaya tertawa. Tetapi ia berkata, “Jangan membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu.” “Asap?” desis penjaga itu. “Jadi kalian belum melihat asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin besar. “He?” teriak kepala penjaga itu. Ia menjadi sangat terkejut. “Asap apakah itu?” Para penjaga yang lain menjadi terkejut pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak seorangpun dari mereka yang tahu apa yang telah terjadi. “Lihat, asap apakah itu” perintah kepala penjaga. Ketika seseorang telah siap untuk meloncat berlari ke arah asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi setiap persoalan itu mencegahnya, “Jangan.” “Kenapa Tuan?” “Mungkin Bahu Reksa Benda sedang marah, atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di sini biarlah kami yang melihatnya.” “Kenapa Tuan?” bertanya penjaga itu. Sutawijaya tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung Sedayu. “Apakah kalian menyediakan kuda pula?” “Ada dua ekor kuda di sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.” “Kentongan raksasa itu?” “Kalau perlu kami harus memukul tanda-tanda.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil menyerahkan kendali kudanya ia berkata, “Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini. Kami akan melihat apa yang terjadi.” “Baik Tuan” sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda itu. Sesaat kemudian Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang mengepul kehitam-hitaman itupun menjadi semakin besar. Bahkan kemudian mereka melihat lidah api menjilat ke udara. “Api” desis Sutawijaya. Anak muda itu kini tidak tersenyum lagi. “Kita ambil jalan memintas,” katanya sambil meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mengikutinya pula meloncati dinding halaman. Tetapi sebelum mereka berlari melintasi halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil berkata, “Jangan berbuat apapun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa yang terjadi.” Para penjaga masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya Tuan.” Namun Sutawijaya itupun kemudian tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak. Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu, “He, siapa yang berada di gardu peronda?” Para penjaga itu tidak segera menjawab. Merekapun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan. “Siapakah itu?” desis Swandaru. Sutawijaya kini telah merendahkan dirinya dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis. Swandaru dan Agung Sedayupun terdiam. Kini merekapun berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati mereka menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui suara siapakah yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini. Sekali lagi mereka mendengar sebuah pertanyaan, “Siapakah yang berada di gardu ronda?” Sesaat tidak terdengar jawaban. Namun wajah para penjaga itupun menjadi tegang ketika mereka mengenal orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan mereka. “Bukankah kau Wira Lele?” terdengar kembali suara itu. Swandaru hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat. Tetapi mereka bertiga yang berada di dalam halaman itupun terkejut pula ketika mereka mendengar kepala penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?” “Ya, aku sudah rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti kumis seekor lele kurus.” Wira Lele, kepala penjaga itu menggeram. Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula. “Ha, kau mau bergurau?” bertanya Sidanti. “Berapa orang semuanya?” Wira Lele tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara Sidanti semakin dekat. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang di dalam gardu? Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis kalian ini.” Wira Lele membelalakkan matanya yang memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling memandangi kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti, “Jangan mencoba menyentuh kentongan itu.” Dada Wira Lele menjadi berdebar-debar. Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan membakar jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di hadapannya. Ia menyadari kekuatan Sidanti. Apalagi ketika kemudian Sidanti itu berkata, “Wira Lele, mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau belum, namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, sedang yang lain, yang seperti arang ini adalah Sanakeling.” Jantung Wira Lele seakan-akan menjadi berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar orang-orang seperti kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh. Namun terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua puluh lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau? Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal Putung itu?” Sidanti tertawa, tetapi ia tidak menaruh perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada Sanakeling. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, “He, Wira Lele. Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu maksudnya? Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba kepada induk pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk Kademangan Sangkal Putung, telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tanda itu adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?” Sekali lagi terdengar Wira Lele menggeram. Tanpa disengaja maka iapun beringsut mendekati kentongannya. Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, “Kentongan itu tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian yang akan memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian katanya lebih lanjut, “Nah, aku ternyata memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka orang-orang Jipang itu akan menyerah? Tidak, mereka akan menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal Putung. Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi kalian akan mati. Begitu?” Wira Lele tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak kayu. “Kenapa kau berdiam diri?” bertanya Sidanti. “Kau harus marah. Mengambil sikap dan marilah kita bertempur. Waktuku hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki pedukuhan ini.” Tetapi Wira Lele tidak bergerak. “Bunuh saja mereka” terdengar desis Sanakeling dalam nada yang berat. “Buat apa mereka dibiarkan hldup? Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang dijumpainya. Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia menerima kami menyerah. Dan ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka bujuk dengan akal yang licik seperti demit.” Wira Lele masih membeku. Namun digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata lagi, “Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku dengan darah kelinci.” “Aku tidak sabar menunggu kalian berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang Pajang menjadi semakin deka,” sela Alap-Alap Jalatunda. “Pengecut” desis Sanakeling. “Kenapa?” “Kau takut kalau orang-orang Pajang itu akan melihat hidungmu.” Alap-Alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila Ki Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?” “Persetan!” desis Sanakeling. “Nah, karena itu marilah kita selesaikan pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya akan mengotori tangan-tangan kita.” Alap-Alap Jalatunda tidak menunnggu Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah maju sambil mengayun-ayunkan pedangnya, “Ayo, siapa yang terdahulu? Kalau masih ada orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersama-sama.” Tetapi di dalam gardu sudah tidak ada orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang itu. karena itu maka Alap-Alap Jalatunda berkata, “Serahkan kelima-limanya ini kepadaku.” “Jangan sombong” potong Sanakeling. “Ambilah tiga. Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya pedang-pedang kami tidak berkarat.” Yang terdengar adalah geram Wira Lele. Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia menyesal, bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang. Bukan untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih berhati-hati. Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju semakin dekat, maka tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik dinding batu di tepi jalan itu ia mendengar suara. “Siapa lagi yang masih berada di dalam gardu?” Bukan saja Alap-Alap Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara itu sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping jalan itu. “Hem” Sidanti menggeram. “Ternyata yang lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding halaman.” Terdengar suara dari balik dinding itu menyahut, “Ya, kami bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya, sebagai takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap cengeng, perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda yang gagal dalam bercinta menurut istilah Sanakeling.” Suara dari balik dinding itu ternyata telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para penjaga gardu itupun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan sengaja telah menghinanya pula. Sidanti menggeram seperti seekor harimau kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri saja seperti patung. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang berani menghinanya sedemikian menyakitkan hati. Tiba-tiba terdengar Sidanti membentak, “He, siapa kau?” “Kami adalah satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu” jawab suara itu pula. “Gila!” teriak Sidanti. “Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.” Kini yang terdengar adalah suara tertawa. Di antara derai tertawa itu terdengar kata-kata, “Jangan marah. Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti, atau Alap-Alap Jalatunda?” “Persetan!” teriak Sidanti. “Keluar dari persembunyian itu.” “Tidak sekarang.” “Kapan?” “Nanti, kalau para prajurit Pajang sudah datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak. Sesaat lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi yang mencegat mereka di bulak jagung?” “He?” pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di belakang dinding itu mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu, Sidanti tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah, “Jangan Sidanti. Mungkin di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap menyobek perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat itu Arya Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan kewaspadaan?” “Hem” kembali Sidanti menggeram. “Tetapi mereka tidak mau keluar dari persembunyiannya.” “Marilah kita tunggu.” “Sehari, sebulan atau sampai orang-orang Pajang datang?” Tiba-tiba Sanakeling berkata, “Biarkan mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita akan mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau cerdik Sanakeling. Mari, kalau orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga dari persembunyiannya kita cincang saja para penjaga ini.” Tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau siram dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari lubangnya.” Kemarahan telah menghentak-hentak dada Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka menunggu, siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum menampakkan dirinya. “Hem,” kini Alap-Alap Jalatundalah yang menggeram. “Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin benar juga kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu datang sebelum kita meninggalkan tempat ini karena terikat oleh permainan yang gila ini.” Sanakeling tidak menjawab. Tetapi matanya benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia cukup hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh ujung tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling baik adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak, “Jangan hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para penjaga ini lebih dahulu.” Tetapi tanpa disangka-sangka, mereka kini dikejutkan oleh suara lantang, “Aku akan keluar dari persembunyian,” disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas tanah, maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap. “Hem. Aku menunggu kalian terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya.” Mata Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak muda dengan sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat seorang anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat dinding itu pula, disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang gemuk, sedang memanjat dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itupun terjun pula dari atas dinding halaman. “Agak hati-hati sedikit Swandaru” berkata Sutawijaya. “Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa.” Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang memandangnya pula dengan sinar kemarahan. “Jangan kau tampar aku kali ini Sidanti” desis Swandaru. Sidanti menggeram. Kalau tidak ada Sutawijaya di hadapannya ia pasti sudah meloncat dan menampar mulut yang gembung itu. “Kau sudah mengenalnya?” bertanya Sutawijaya kepada Swandaru. “Aku sudah kenal terlampau rapat Tuan” jawab Swandaru. “Kalau demikian, siapakah yang disebut Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung? Bukankah kau anak Demang Sangkal Putung itu?” Wajah Swandaru menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi semerah darah. Bukan saja mereka, bahkan Agung Sedayu pun merasa wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum, maka Agung Sedayu itupun segera menundukkan wajahnya. Mendengar senda gurau itu darah Sidanti benar-benar telah mendidih. la merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda itu sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa kemarahannya telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak, “He kau anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari dengan siapa kalian berhadapan?” Tetapi tiba-tiba Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari kata-katanya. Anak muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi datang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima Wira Tamtama Pajang. Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sutawijaya, “Tentu Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa aku berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, yang hitam seperti arang adalah Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu, he Swandaru?” berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah Swandaru, “adalah anak muda murid Ki Tambak Wedi yang garang itu.” Karena kemarahan yang telah memuncak, maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci. la berdiri saja mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya beradu. Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah ia melihat siapakah yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda pasti tidak puas dengan pertempuran yang terjadi di bulak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu berusaha memancing kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali bukanlah suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang yang akan menyerah, tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari peristiwa pagi tadi. tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda, Sutawijaya berkata, “Paman Wira Lele, bukankah Sidanti menyebutmu Wira Lele?” bertanya Sutawijaya. Tanpa sesadarnya Wira Lele mengangguk, “Ya Tuan.” “Nah, ambilah kudamu. Pergilah menemui barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa ini. Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka melihat asap dan api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Kau harus menemui Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api, maka apinya telah menjilat gardu sehingga gardumu dan setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan terus, supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat kembali, tidak mendahului mereka dan terjadi persoalan-persoalan di luar kehendak kedua belah pihak karena pokal Sidanti.” Kata-kata itu bagi Sidanti dan kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan runtuh menimpa dada mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang. Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian adalah geram Sanakeling, “Wira Lele, kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu adalah saat kematianmu.” Wira Lele tidak beranjak. Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah Sutawijaya, tetapi ancaman Sanakeling telah mencegahnya. “Jangan takut Wira Lele” berkata Sutawijaya. “Serahkan ketiganya ini kepadaku.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga orang, sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan Pajang yang lain akan segera datang pula.” Kata-kata itu, meskipun diucapkan dengan serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan sebelumnya, namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat jantung Sidanti dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari kedua belah pihak, seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan sidanti bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi mereka. Lebih tajam dari sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti harus mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak segera dapat mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini Sutawijaya itu berkawan tujuh orang, sedang dirinya sendiri hanya berkawan dua orang. Dalam keragu-raguan itu terdengar Sutawijaya berkata pula, “Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang Untara mengambil sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang Jipang yang menyadari kedudukannya.” “Baik Tuan” jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya. “Jangan mengganggu, Sanakeling” desis Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira Lele. Kemudian tanpa berkata apapun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di samping gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih belum sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi kendalinya. “Pakai kudaku” teriak Swandaru dari sisi yang lain. Sutawijaya berpaling, kemudian katanya, “Ya, pakai kuda itu supaya lebih cepat.” Wira Lele pun kemudian menerima kendali kuda Swandaru. Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling menggeram, “Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan orang-orang Jipang di ujung lorong ini. Orang-orang Jipang yang telah siap menerkam pasukan Pajang yang mendatang.” Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan daripada anak muda itu. Sutawijaya menjadi jengkel melihat kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum sambil berkata, “Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau benar orang-orang Jipang akan menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti tidak akan sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau dua rumah. Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti segera akan bersiaga. Karena itu, cepat, pergilah. Sampaikan kepada Kakang Untara seperti pesanku.” Wira Lele yang ragu-ragu itu tidak segera menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin jengkel tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itupun terkejut dan meloncat berlari. Wira Lele yang berada di punggungnyapun terkejut pula. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan keseimbangannya. “Hati-hati Paman” teriak Sutawijaya. “Berpeganglah kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.” Kuda itu berlari terus. Derap kakinya menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika kuda itu menjadi semakin jauh, maka iapun menjadi semakin tenang. “Anak-anak itu bukan main” desisnya. “Mereka menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang bermain-main saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka leherku pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu.” Sambil berkumat-kamit mengucap sukur atas keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia harus segera menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia ragu-ragu. Berita apakah yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata sebenarnya, apakah ia harus berkata menurut pesan Sutawijaya? “Aku harus berkata sebenarnya” desisnya kemudian. “Supaya Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan.” Dalam pada itu, Sanakeitng yang berdiri terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ingin ia meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke jantungnya. Karena itu, maka sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda itu. “Nah, apa katamu sekarang?” tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya. Sanakeling menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Sejenak mereka terpukau dalam kesenyapan. Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam puncak kesiagaan. Sidanti, Alap-Alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalaman dalam medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga betapapun kemarahan membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah merayap segala macam kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah mereka telah membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak seharusnya mereka membiarkan diri mereka terjebak dan terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda yang mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu adalah anak-anak muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah mengenal mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka berkelahi di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama tergenggam senjata. Sedang seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran mereka berdua, Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Selagi mereka diam menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kalian lakukan?” Sidanti tidak segera menjawab. Juga Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin gelisah, karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. “Sekarang, anggaplah keempat penjaga gardu itu tidak ada” berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. “Kita berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.” Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata, “Jangan ganggu kami. Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di dalamnya. Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian ributkan. Seandainya kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya.” Para penjaga gardu itu terpaku diam. Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka berdiri saja dengan mulut ternganga. “Ayo, berbuatlah sesuatu” berkata Sutawijaya. “Jangan kalian biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren. Ayo, Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru memilih yang kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih yang hitam gelap, begitu?” Yang terdengar adalah gemeretak gigi Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera akan mulai.” Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu gading. “Inikah Alap-Alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap itu dengan ujung pedangnya. Hati Alap-Alap muda itu menjadi sangat panas, sehingga dengan serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya. Ketika kedua pedang itu berdentang, alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu. Dentang kedua pedang itupun seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai. Sejenak Sutawijaya dan Agung Sedayu sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya terasa menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-Alap Jalatunda adalah anak muda yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya, murid Kiai Gringsing itu menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu. Tetapi kini pedang Swandarulah yang terayun memukul pedang Alap-Alap Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-Alap Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru, sehingga Alap-Alap yang lincah itu berkata di dalam hatinya, “Hem gajah kerdil ini memang benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.” Kini Alap-Alap Jalatunda mengetahui bahwa tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui kekuatan tangannya. Ia tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini. Demikianlah perkelahaian mereka menjadi bertambah seru. Bukan saja Alap-Alap Jalatunda yang menyadari kekuatan dan kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula, bahwa anak muda lawannya itu dapat bergerak selincah burung alap-alap di udara. Sekali menukik menyambar, namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena itu, maka Swandaru harus menghemat tenaganya. Ia tidak pernah dengan tergesa-gesa mengejar lawannya apabila Alap-alap itu meloncat beberapa langkah ke samping atau sengaja surut ke belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada. Dibiarkannya lawannya berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau Alap-alap itu melontar agak jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang bersilang di hadapan perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak pinggang. Alap-alap Jalatunda menggeram melihat sikap Swandaru yang tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itupun menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk menghadapinya. Sidanti dan Sanakeling masih sempat menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut musuh. Bukan memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih ringan. Karena itu, betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya, “Ayo, siapakah lawanku? Yang membawa tombak atau kawan lamaku yang bernama Agung Sedayu?” Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir berhadapan dengan Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata, “Biarlah ia melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ untuk melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang Alap-Alap yang jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai aku. Sekarang aku ingin menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan ujung tombakku.” Kata-kata itu terasa sepanas api yang menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat Iawannya menghindarinya sambil merendahkan diri, secepat ilu pula ujung nenggalanya menyambar seperti tatit. Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti bergulung-gulung melanda Sutawijaya. Terdengar Sutawijaya memekik kecil. la benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Sidanti yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan dari perkelahiannya. Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa langkah surut. Sambil tersenyum ia berkata, “Dahsyat. Alangkah dahsyatnya murid Ki Tambak Wedi yang menurut cerita mampu menangkap angin. Mari anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang menarik ini.” Sidanti tidak membiarkan lawannya. Begitu ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta ia mengejarnya. Namun kini Sidantilah yang terkejut, ketika tiba-tiba saja ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya. “Gila!” teriaknya. Pedangnya dengan tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut, sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya. Perkelahian antara Sidanti dan Sutawijaya itupun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah dianggap mampu melawan Arya Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak kemudian ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun umurnya masih lebih muda daripada dirinya, tetapi kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan senjata telah benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak Wedi itu. Sanakeling yang melihat kedua kawannya telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu telah menggenggam pedang, maka segera iapun meloncat maju sambil berkata, “Kita bertemu kembali dalam kesempatan yang luas. Kita masing-masing tidak akan terganggu lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita harus menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar.” Agung Sedayu tersenyum. Ternyata Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat Tohpati terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya. Hati Sanakeling itu menjadi membara melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik tinggi. Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu. “Hem” desisnya. “Suaramu mirip gemuruhnya petir di langit.” Sanakeling tidak menyahut. Geraknya menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai. Tak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan. Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas dengan serangan pula oleh Agung Sedayu. Demikianlah maka ketiga anak-anak muda itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan Alap-Alap Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya berhadapan dengan Sidanti. Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang, namun lawannya benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya mematuk-matuk dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu terasa, betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini menghantui anak-anak muda sebayanya. Hati Sidanti benar-benar menjadi panas, ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih saja dilihatnya Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar ia berkata, “Sidanti, aku sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah meneteskan darah dari tubuhku, maka akupun harus berbuat serupa. Meskipun sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk membunuhmu. Entah nanti, apabila keringatku telah membasahi landean tombakku dan kau masih saja berkeras kepala mungkin aku mengambil keputusan lain.” Yang terdengar adalah geram Sidanti. Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang dengan pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu mampu menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itupun kemudian benar-benar ingin melakukan apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannyapun semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan. Sidanti yang pernah bertempur melawan Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu, maka terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin baginya untuk mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lainpun ternyata telah menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak pengalaman Sanakeling dalam petualangannya, namun menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi serangan-serangan anak muda itu. Sedang di sisi yang lain, Swandaru bertempur dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh sekali, dibandingkan dengan apa yang pernah dimilikinya pada saat pertama kali ia menerima pelajarannya di pinggir kali. Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia merasa bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia mendengar Kiai Gringsing mengajaknya bermain loncat-loncatan di atas batu. Kini Swandaru telah cukup lincah memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap. Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun kemana Alap-Alap Jalatunda meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan pedang terjulur. Dalam pada itu, di luar desa Benda yang kecil, Ki Tambak Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. Ia telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan api yang menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai awan yang terbang rendah dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi Sidanti sama sekali tidak segera dilihatnya. Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk di pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda yang tidak seberapa jauh. “Setan kecil itu apa lagi yang dilakukannya” gumamnya. “Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis.” Namun Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan. Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir dan kemudian berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke desa itu. “Lebih baik aku kerjakan sendiri” gerutunya. Ia menyuruh muridnya membakar beberapa rumah dengan pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan ditemuinya prajurit yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama kedua kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit Pajang yang pasti segera akan datang. Tambak Wedi itupun menggeram. la telah menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah meninggalkan induk kademangan. Berlari-lari penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda yang kecil. “Anak gila” geram Tambak Wedi. Menurut perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat. Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di tengah-tengah bulak yang agak panjang itu. bersambung Posted in Buku 011 - 020 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Alap-Alap Jalatunda, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Ki Widura, Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya / Panembahan Senapati, Sanakeling, Sidanti, Swandaru, Untara
ApiDibukit Menoreh (Gugurnya Tohpati) 1971:: Action . (Sentot S), untuk membantu pamannya, Widuro (Kusno Sudjarwadi) di Sangkal Putung. Dalam perjalanan Untoro diserang dan terluka. Ia ditolong seorang dukun yang kemudian ternyata pendekar sakti, Tanu Metir (Hassan Sanusi). Untoro memerintahkan Sedayu, yang sebenarnya punya ilmu tinggi
♦ 15 Juli 2010 Dalam pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Di luar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya, sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya. Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandaru pun telah menunggu. Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, “Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat, meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaraga pun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi.“ “Syukurlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah menjawab, “Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?“ “Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom,“ berkata Swandaru. “Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal,“ berkata Kiai Gringsing. “Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran? Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang di perjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang Adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum Adi Swandaru datang. Dengan kehadiran Adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh Adi Swandaru sampai ke Jati Anom.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu Tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit.“ “Baiklah Guru,“ sahut Swandaru, “tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mereka akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri.“ “Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing. “Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru,“ berkata Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.“ “Kenapa harus mencoba? Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru?“ sahut Swandaru. “Ya. Memang terserah kepadaku,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku? Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji, meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya, “Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?“ “Terserah kepada Guru. Besok atau lusa,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku di sini menunggu Ki Patih, untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom.“ “Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu di sini,“ berkata Swandaru. “Kau tidak letih? Atau barangkali kau akan beristirahat di sini?“ bertanya Kiai Gringsing. “Betapapun letihnya, di hadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu di sini.“ Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah, dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat. Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram. Di dapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede. Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka. Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, “Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian di perjalanan.“ “Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari di sini,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom.” “Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada Angger Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gringsing. “Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan,“ jawab Ki Patih Mandaraka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian.“ Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri, yang menemui para tamu dari Mataram di saat-saat terakhir. Dalam waktu yang hampir bersamaan, maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnya pun telah mendapat hidangan minum dan makan pula, sebelum mereka berangkat meninggalkan Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di seluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya. Tetapi pimpinan Pasukan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinan yang lama. Ketika kemudian matahari naik di atas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal. “Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur,“ berkata Ki Patih. “Tidak,“ jawab Ki Gede, “kami-lah yang mohon maaf, justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik.“ Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita telah melakukannya bersama-sama, mempertahankan hak kita, di samping hak hidup kita.“ “Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal di kulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk, keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu. Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu dilanda oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan. Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususp un telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka di antara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk pasukan Mataram itu. Namun akhirnya kelompok yang terakhir pun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, “Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua, dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang, yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung.” Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, “Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?“ Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus, karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seperguruanmu.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya, dan Mataram pada umumnya.“ Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, “Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede.” “Terima kasih Ki Patih,“ hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu. Sedangkan Ki Patih berkata, “Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu.“ “Ah,“ desah Agung Sedayu, “tidak ada yang pantas mendapat penghargaan.“ “Aku tahu. Itu adalah sikapmu,“ jawab Ki Patih. “Jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugrah pangkat Tumenggung.“ “Tempatku ada di antara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau di antara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain,“ jawab Agung Sedayu. Ki Patih tertawa. Katanya, “Baiklah, untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, “Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada di dalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas, serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, “Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu.“ “Aku mohon restu,“ berkata Agung Sedayu. Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga, disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian. Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayu pun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Agaknya tempatku bukan di lingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan.“ Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu. Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayu pun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi suami Pandan Wangi. “Satu belitan hubungan yang panjang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sementara itu, ia masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh, yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa, yang kini menjadi salah seorang di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dapat dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirah pun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal. Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula. Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, “Pergilah dahulu. Aku masih akan berada di sini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul.“ “Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?“ bertanya Swandaru. “Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini? Sementara di sini masih ada tamu yang lain? Aku-lah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan?“ jawab Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada di sini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari? Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai.“ Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu.“ Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai ke rumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandaru pun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada di antara mereka yang masih tertidur di gandok. Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan mereka pun dengan cepat telah membangunkan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun membenahi diri dan siap melakukan tugas jika perintah itu datang. Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Aku pun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka.“ Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandaru pun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam. “Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya. “Kau sedang apa?“ bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu. “Membersihkan ikan,“ jawab anak itu. “O, kau dapat begitu banyak?“ bertanya Agung Sedayu sambil memuji. “Dua kali aku turun ke sungai semalam,“ jawab anak itu dengan bangga. “Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini,“ jawab anak itu, “ada-ada saja alasannya.“ Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku.“ Namun ternyata anak itu berdesis, “Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede, atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu.“ “Mungkin siang ini.“ jawab Agung Sedayu, “nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu.“ “Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek, jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?“ bertanya anak itu lagi. Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, “Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda.“ “Dua?“ anak itu menjadi heran. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi berapa? Tiga atau berapa saja diperlukan.“ Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Satu saja tentu sudah cukup.“ Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning.“ Sementara itu, selagi pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi, terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannya pun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali. Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tertarik untuk memasukinya lagi, sebagaimana pernah dilakukannya. “Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?“ bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya. “Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?“ sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk. Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot matahari pun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu, dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya. “Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti,“ berkata Swandaru. “Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi,“ berkata Swandaru. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Aku mencoba untuk mempertahankannya.“ Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung di bawah jerami yang memanjang itu. Tetapi di sebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna. Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Di atasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu. Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, “Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?“ Namun ternyata hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menjawab, “Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini.“ “Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?“ bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu? Bukankah Kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa? Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini?“ Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga, dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Di samping laku lain yang harus dijalani di luar sanggar. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, “Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil.“ “Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa, sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi di dalam dirinya kedua aliran ilmu itu, bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang berbeda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan. Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, “Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa, meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari Ayah. Memang agak berbeda dengan Kakang Untara.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah di dalam kitab Guru itu, pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu, meskipun dengan landasan yang sama?“ “Kau harus memilih Kakang,“ jawab Swandaru, “kita tidak boleh serakah sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya. Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan kepada Agung Sedayu iapun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih, yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya. Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya ke arah batu padas yang berada di atas batu hitam, sebagai bahan latihan Glagah Putih itu. Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itu pun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu, yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu. Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, dimana tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan. Sebenarnyalah Agung Sedayu pun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru, yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan kademangannya satu kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat, sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa kademangan yang lain. Namun kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi kademangan. Apalagi kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung. Sebagai seorang pengawal, ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih, apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri, serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari di dalam kitab yang diberikan gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus, yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi kademangannya. “Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya di antara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun ia sadar bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran. Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itu pun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya. Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, “Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?“ Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, “Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang.“ “Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?“ bertanya Swandaru. “Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan,“ jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain di dalam hatinya membentaknya, “Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterus-terang, maka ia menjadi cemas bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, “Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar.“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia berusaha sedikit menjelaskan, “Tetapi sebagaimana cambuk kita, yang membuat Adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan Adi Swandaru. Dengan pedang pun aku kira Adi Swandaru akan dapat melakukannya, asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah.“ “Tentu agak lain,“ jawab Swandaru, “Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri, sebagaimana ikat pinggang itu.“ Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, “Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keraton pun terdapat beberapa macam benda pusaka, yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat, sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka di tangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil. Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, “Nah, aku ingin melihat Kakang mempergunakan cambuk yang Kakang terima dari Orang Bercambuk itu. Tentu Kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid Kakang itu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini, jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kakang selalu mengelak. Tetapi Kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada Kakang.“ “Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya Kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan di hadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan Kakang. Sebaliknya, kelebihanku adalah kelebihan Kakang. Demikian pula sebaliknya.“ Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak.“ Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Ia harus yakin akan dirinya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia tidak menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja Kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan.“ Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, “Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita.“ “Jangankan memahami,“ berkata Agung Sedayu, “satu bab pun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya, karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu. “Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.“ Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara Swandaru sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa, tergantung di dinding tanpa sarung. Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, “Apakah pedang ini tidak mudah patah?“ Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Di sudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan di sini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai.“ Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga-lah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain, yang sekedar menjadi kumpulan senjata di sini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun.“ “Siapakah sebenarnya orang itu?“ bertanya Swandaru, “Nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya.“ “Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada di sini, menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada di sini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya,“ berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, “Guru juga mempercayainya.“ Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya. Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman, rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa. “Kami sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede,“ berkata Swandaru. “Aku kira kalian justru tidur nyenyak,“ desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, “bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur? Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk.“ “Kami tidak merasa apa-apa Guru,“ jawab Swandaru, “apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik ke pendapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.“ “Kami adalah murid Guru,“ jawab Swandaru. Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, “Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya, karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itu pun tidak berpengaruh apa-apa.“ “Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan.“ “Kami pun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru,“ jawab Swandaru. “Syukurlah,“ berkata’Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?“ bertanya Agung Sedayu. “Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang masak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Di setiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perempuan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, memang dikirim dari padukuhan induk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?“ “Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada di sini,“ jawab Sekar Mirah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka di sini.“ “Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk,“ berkata Sekar Mirah pula. “Mereka memberi kesempatan kepadaku, jika ada pembicaraan yang penting di antara aku dan murid-muridku,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu.“ “Memang tidak ada yang penting,“ berkata Swandaru, “tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan Kakang Agung Sedayu berada di tempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu.“ “Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban di sini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Di masa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar, namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka mereka pun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian justru pertemuan seperti ini menjadi penting?“ desis Swandaru. “Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu? Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti.“ Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu pun berkata, “Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari?“ Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri.“ Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian. “Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmunya, meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada di sini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan di dunia olah kanuragan. Kecuali jika Kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik, sehingga akan mampu memanah burung pipit di puncak pohon yang tinggi sekalipun.“ Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung. “Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing. “Di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan.“ “Penanganannya memang harus lain,“ berkata Swandaru, “cara di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan di sini, yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani.“ “Kami sudah mencoba melakukannya,“ berkata Agung Sedayu, “memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kami pun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai.“ “Aku melihat hasilnya,“ berkata Kiai Gringsing, “memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak.“ “Terima kasih Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami di sini akan berusaha lebih baik lagi.“ “Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan,“ berkata Swandaru, “tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu di sini.“ Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Apakah Kakang Swandaru mengira bahwa Kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?“ “Bukan begitu,“ jawab Swandaru, “tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan Kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun, karena Ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak.“ Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing telah menengahi, “Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada di tangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur di rumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara, tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu, justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali. “Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?“ jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya, “Meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari.“ Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur. Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu. Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka di rumah Ki Gede. “Aku ada di sini sekarang,“ berkata Sekar Mirah. Tetapi Ki Waskita menyahut, “Meskipun kau di sini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga.“ Karena itulah, maka lewat tengah hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada di rumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang. Setelah makan, Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih di gandok bersama dengan para pengawalnya. “Silahkan beristirahat Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan kembali ke rumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada di rumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya.“ “Silahkan,“ berkata Swandaru, “juga Kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku di sini. Aku memang ingin beristirahat di antara orang-orangku.“ Tetapi Agung Sedayu pun berkata, “Aku juga akan beristirahat di rumah.“ Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi ke rumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lain pun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun di jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun demikian, di bulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandi pun berkeliaran di daerah perbatasan. Beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu pun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi kademangan-kademangan itu, memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah. “Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban di antara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu,“ berkata para pemimpin kademangan itu. Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di kademangan mereka masing-masing. Di sore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru, meskipun di antara mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor, turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu. Menjelang senja, maka keduanya telah kembali ke rumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsing pun telah datang pula bersama Ki Jayaraga. “Apakah Ki Waskita tidak datang pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang,“ jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan.“ Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, “Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus.“ “Marilah Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat, dan barangkali perlu lampu yang lebih terang.“ “Untuk apa?“ Kiai Gringsing justru bertanya, “Jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal.“ Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar, khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang, juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada di dalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang. “Kita hanya memanfaatkan waktu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang menyahut, “aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.“ Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah. Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, “Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai ke sana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu di antara kalian, meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan cara apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cedera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Aku pun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, “Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu.“ Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, “Kami memang sangat menunggu Guru.“ “Aku melihat kalian berada di simpang jalan,“ berkata Kiai Gringsing, “kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan.“ “Guru,“ Swandaru memotong, “manakah yang lebih baik menurut Guru?“ “Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya,“ berkata Kiai Gringsing, “namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula.“ “Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh Kakang Agung Sedayu itu lebih baik, meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?“ bertanya Swandaru. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap. Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan. Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti, sehingga keduanya pun kemudian telah menundukkan kepalanya. “Anak-anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya, bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu, maka Swandaru pun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya, dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya, dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itu pun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang ditampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain, yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyusup ke kedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Di samping itu, kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain, untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan.“ Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu di antaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kau pun harus menjalani laku, sehingga kau akan memperoleh kedalaman ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan.“ Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, “Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah. “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “sekarang, siapa di antara kalian yang akan bertanya, bertanyalah.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang bertanya untuk pertama kali, “apakah menurut Guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?“ “Ya,“ jawab Kiai Gringsing tegas. “Seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau akan tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu, sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu.“ Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya, sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya, khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap di dalam dirimu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula.“ Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa. Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, “Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis ilmu. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu di atas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya, sesuai dengan tataran yang tertulis di dalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua.“ Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, “Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai di tingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara, apalagi petualang, untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa, kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.“ Kiai Gringsing’berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh, kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya, serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya.“ Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya, tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu. Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, “Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini, aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu.“ Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua. Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini, menjelang hari-hariku terakhir.“ Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, “Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab Guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh Kakang Agung Sedayu.“ Tetapi sementara itu dahi Swandaru pun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula, meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain, untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya. “Tetapi itu pun perintah.“ Namun katanya kepada diri sendiri, “Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini.“ Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu, atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing.“ Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsing-lah yang kemudian melangkah lebih dahulu ke tengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama di belakangnya. Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap ke bawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan, sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri. Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup di depan dada. Menurun ke bawah, kemudian terlepas. Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah di urat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar. “Kita sudah selesai,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari, dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara, dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab itu adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah-gunakannya.“ Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu, karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum di dalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar, sebagaimana telah dikatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan di sebelah Agung Sedayu berkata, “Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada di sini.“ Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya, sebagaimana dipesankan oleh gurunya. Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi, agar isi kitab itu terpahat semakin dalam di dinding jantungnya, serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam. Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk di pendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu. Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu pun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat. Demikian Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandaru pun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada di antara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di kademangannya, di antara para pengawal kademangan yang sedang meronda. Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, di sebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Di sebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai, serta cangkul dan parang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya, atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya. Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya. “Kau masih sempat juga menutup pliridan?“ bertanya anak muda itu, “Dimana anak yang sering melakukannya itu?“ “Tertidur. Nampaknya ia letih sekali,“ jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun bertanya pula, “Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?“ “Untuk melepaskan ketegangan,“ jawab anak muda itu, “selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaan pun menjadi sejuk.“ Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai. “Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?“ bertanya anak itu. “Kau tertidur,“ jawab Glagah Putih. “Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku,“ geram anak itu. “Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu,“ jawab Glagah Putih. “Kau bohong. Besok kau tentu bercerita, bahwa kau-lah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini,“ sahut anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Tidak. Besok aku akan bercerita kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini.“ Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, “Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk ke dalamnya.“ Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung. “Sudah jauh lewat tengah malam Kakang,“ Sekar Mirah memperingatkan. Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu Adi Swandaru harus ditingkatkan.“ Sekar Mirah yang telah berbaring di pembaringan itu pun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa Kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari Kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsing pun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan Guru Kakang pun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat Kakang, sehingga rasa-rasanya Kakang pun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, Kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah istrimu, yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan Kakang Swandaru terhadap Kakang Agung Sedayu tidak berubah.“ “Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan,“ berkata Agung Sedayu. “Mungkin Kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan Kakang Swandaru? Sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya, atau hatinya menjadi patah sama sekali.“ “Jika Adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnya pun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk,“ jawab Agung Sedayu. “Dan sekarang Kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika Kakang meningkat semakin pesat, bagaimana Kakang Swandaru akan dapat menyusul Kakang? Tetapi bukan maksudku menghambat Kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan Kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa Kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya, yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada, dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu.“ sahut Sekar Mirah. “Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?“ bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula Guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain.“ “Dan sekarang Kakang-lah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat,“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada istrinya, “Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan. Sekar Mirah pun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing, yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung. Namun Sekar Mirah pun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ke tingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk. Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatnya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat. Namun Agung Sedayu pun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding. Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sampai pada tataran puncak ilmu cambuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat. Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya di sebelah bantalnya. Kemudian iapun telah berbaring pula, untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula. Namun sebenarnyalah bahwa sekejap pun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula di sampingnya. Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur. Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu di rumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur di serambi, berkerudung kain panjang. Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah bangun pula. Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman, serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja di rumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu seakan-akan telah terbangun. Sesaat kemudian, Kiai Gringsing pun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk di antara para pengawalnya, yang telah terbangun dan duduk-duduk di serambi gandok. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tolong, kawani aku setelah kau mandi, ke rumah Ki Gede.“ “Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu. “Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Perdikan ini,“ berkata Kiai Gringsing pula. “Bagaimana dengan Adi Swandaru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja, sekaligus mohon diri di saat kita kembali ke Jati Anom,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa. “Apakah kau mau ikut?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kemana Guru?“ bertanya Swandaru. “Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing. “Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru?“ bertanya Swandaru. Lalu, “Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali, di saat kita berangkat, singgah dan minta diri?“ “Nanti kita terlalu tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita.“ “Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah di rumah Ki Gede?“ bertanya Swandaru. “Ya,“ jawab gurunya. “Kita hanya akan mondar mandir saja kesana-kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom?“ bertanya Swandaru. “Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, aku menunggu Guru di sini,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Aku akan bersiap-siap selama Guru berada di rumah Ki Gede.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya selain pergi ke rumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik.“ Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Di rumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu, meskipun orang tua itu belum mandi. “Aku akan mandi di rumah Ki Gede, setelah berjalan-jalan,“ berkata Kiai Gringsing. Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu. Sebenarnya Sekar Mirah pun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja. “Nanti saja aku makan,“ jawab Kiai Gringsing, “masih terlalu pagi.“ Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk. “Bawa aku ke tempat yang jarang dikunjungi orang,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, “Aku perlu menunjukkan sesuatu kepadamu, tanpa orang lain.“ Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenal halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat. “Tempat ini memang jarang di kunjungi orang, Guru. Selain jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka aku pun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu.“ “Apakah maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kau pun wajib mengendalikan adik seperguruanmu, jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Guru melihat gejala seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Bagiku Adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup, terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan kademangannya.“ “Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan, dan di atas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa, dan karena itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan. Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, “Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kita pun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup di antara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Bahkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis di dalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing. Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, “Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya.“ Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. “Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya di atas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya, tanpa maksud-maksud buruk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini.“ Agung Sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, “Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini.“ Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali, sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu.“ Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa menghentak sampai ke jantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu. Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya.“ Jantung Agung Sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan, jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran. Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir. Demikianlah, setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsing pun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk, yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu. Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu. Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padas pun telah berguguran, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada di bawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ke tataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu juga akan berada di tangan Swandaru. Yang meskipun butuh waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula. Sementara itu Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka. “Ilmu itu terlalu dahsyat,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Nah, Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, “Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar Adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir? Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Aku pun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu, atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi aku pun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung-jawabkan.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid, betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru.“ “Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita, serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya.“ Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Kita pergi ke rumah Ki Gede.“ “Mari Guru,“ jawab Agung Sedayu, yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat. Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, “Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?“ “Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah kau tidak memerlukannya?“ “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu, pada ingatanmu?“ bertanya gurunya. “Ya Guru,“ Jawab Agung Sedayu. “Bailah. Jika demikian, biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom. “Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi aku pun telah merencanakan untuk mohon diri besok.“ “Begitu tergesa-gesa?“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya. “Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu? Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga.“ Ki Gede pun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pula-lah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pula-lah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya. Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. “Nanti pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru, akan singgah lagi kemari untuk minta diri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kenapa Kiai tidak menunggu di sini saja?“ bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku.“ Ki Gede tersenyum. Katanya, “Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir.“ Kiai Gringsing pun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agak gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya. Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama. Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itu pun telah disimpan di dalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat-sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk. “Aku akan menjaganya dengan baik. Guru,“ janji Swandaru. “Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan di dalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat di dalam kitab kita itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya, serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. “Guru,“ berkata Swandaru, “untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula.“ Kiai Gringsing pun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, “Bukankah kau juga berjanji?“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku berjanji, Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar di rumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah sinar matahari.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom. Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera mempunyai cucu. “Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Gede. “Ya Ki Gede,“ jawab Swandaru. ”Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu.“ “Syukurlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom. “Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?“ bertanya Ki Gede. “Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk,“ sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan kami sampai di tujuan sebelum malam.“ Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai ke regol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, “Hati-hati Kakang. Sungkemku kepada Ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan.“ “Jaraknya terlalu jauh Mirah,“ jawab Swandaru, “tetapi aku akan berusaha.“ Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram. “Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham,“ desis Swandaru. Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itu pun telah ditundanya. Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan di sebelah selatan. Meskipun demikian, ketika mereka sampai ke tepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi barat, masih berada di tengah. Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itu pun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka. Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang bahkan telah menduga-duga. Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang di lambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi, sambil bertanya, “Ki Sanak? Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi, dengan pengawalan yang kuat itu? Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal, atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi, atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan di hatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu.“ Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandaru-lah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung. Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi, sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun. Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka. Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyusulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan. Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera menemuinya dan bertanya, “Darimana Kiai?“ “Kami dari Tanah Perdikan,“ jawab Kiai Gringsing. “O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai,“ desis pemimpin prajurit itu. “Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada di sana. Swandaru-lah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal,“ jawab Kiai Gringsing. “O,“ pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?“ “Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kami sudah mendengar laporannya di sini. Syukurlan bahwa semuanya selamat,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami.“ Kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, “Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?“ Swandaru menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang. Besok lain kali aku akan menemuninya.“ Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom, tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi. Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat di sebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan, dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepokan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu, sementara para pemimpinnya tidak ada. Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga di regol. Kemudian melanjutkan perjalanan. bersambung
26September 2020 - Pengurusan Air Pahang Berhad Daerah Maran ingin memaklumkan Unit Penyelenggaraan Cawangan Jengka, PAIP Maran sedang giat menjalankan kerja-kerja penggantian paip air bersih iaitu paip air turun Tangki Jengka 21 bersaiz 300mm yang pecah di dalam kawasan ladang Jengka 21 Definition of paip in English: paip xls), PDF File
♦ 15 Juli 2010 Dengan darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu. Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu. “Aku sudah menjadi semakin baik,” katanya. “Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas tandu seperti seorang perempuan.” “Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi. Ki Argapati menggeleng, “Aku akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.” Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan, “Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan hal itu.” “Ya, ya. Aku akan selalu ingat.” Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus mengamat-amati jalan. Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk. Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi pun akan menjadikan padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka. Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi. Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah yang tegang. “Paman,” berkata Wrahasta kepada Kerti, “supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu.” “Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.” “Kapan mereka akan kita lepaskan?” “Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu.” “Aku sendiri akan memimpin mereka.” “Kenapa kau?” “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.” “Sebaiknya bukan kau, Wrahasta.” “Perang kali ini harus menentukan. Kita pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus pergi mendahului? “Bagaimana, Paman?” desak Wrahasta. “Kau sudah cukup banyak berbuat.” “Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.” “Tugas kita masih banyak.” “Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya.” “He?” Kerti terbelalak. “Jangan berkata begitu.” Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya, “Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun itu.” Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil keputusan.” “Ya,” sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putra Tanah Perdikan Menoreh.” Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu. “Aku akan mendahului pasukan,” berkata Wrahasta. “He?” Samekta mengerutkan keningnya. “Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan kita lalui.” “Ah,” desah Samekta, “bukan kau. Kau masih nnempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.” “Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di tempatku.” “Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu.” “Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin.” Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu, Samekta tidak dapat mencegahnya lagi. “Tetapi kau harus berhati-hati.” “Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa boleh buat.” “Hus,” desis Samekta. “Jangan mengigau.” Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa. “Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam kelompok itu?” “Sepuluh,” jawab Samekta. “Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?” “Tiga.” “Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di sepanjang jalan ini.” Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi. “Kemana raksasa itu?” bertanya Gupala sambil berbisik kepada Gupita. Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan beberapa langkah di depannya bersama gurunya. “Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.” “Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.” Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang. Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang pemimpin. “Gupala,” berkata Gupita, “Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda. Gupala mengerutkan keningnya, “Biarlah mereka mengurusinya.” “Hus,” desis Gupita, “kita ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.” “Lalu, apakah kita akan melarangnya?” “Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.” “Malas.” “He?” Gupita membelalakkan matanya. “Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu.” Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan. “Bagaimana dengan guru?” berkata Gupala. “Kita akan minta ijin.” “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu.” “Jangan mengingau.” Gupala tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Kalau pimpinan pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.” “Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta.” Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah.” Gembala tua itu pun kemudian bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anak-anaknya. “Aku berterima kasih,” berkata Samekta, “tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya.” “Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?” “Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus menebar.” “Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.” Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam barisan.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya, “Bagaimana kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya. “Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang kecewa itu.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, “Kenapa Angger Wrahasta kecewa?” “Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Samekta dengan serta-merta. Orang tua itu pun tidak bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata, “Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?” “Pergilah. Tetapi hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.” Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya. “Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati. “Pergilah dan ingat, hati-hatilah dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya. “Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan. Maka keduanya pun kemudian melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi. “Wrahasta,” berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan, “aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka menduga-duga bagaimanakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta bertanya, “Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.” “O,” tiba-tiba Wrahasta tertawa, “jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?” Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.” “Aku sudah tahu. Dan aku pun tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.” “Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.” “Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului perjalanan kalian.” Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu pun kemudian berkata, “Kami hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di dalam kelompok ini.” “Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.” Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya, “Kemudian terserahlah kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.” Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan. “Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya. Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita berkata, “Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Kau berada di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.” “Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.” “Persetan istilah yang kau pergunakan.” “Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.” “He?” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi bagaimana?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu. “Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya.” Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. “O, kau adalah manusia yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.” Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian. “He, Gupita,” bertanya Wrahasta, “apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?” Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.” “O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?” Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik, “Kaulah yang aneh Kakang.” Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. “Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita sudah sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.” Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah Wrahasta. Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil. “Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan,” berkata Wrahasta, “karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.” Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan. Kelompok itu kemudian berjalan dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu. Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan. Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju. Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak. “Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta. “Pasti,” jawab salah seorang petugas sandi. “Mari kita lihat.” Kemudian katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula., “Suruh pasukan Ki Samekta maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini.” Petugas itu pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan. Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram, “Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali tidak kita perlukan lagi.” “Kenapa?” tanpa sesadarnya Gupita bertanya. “Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti sejenak, kemudian, “Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?” “Berlebih-lebihan,” sahut Gupita. “Sebenarnya mereka pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita perlukan?” “Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.” “Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi pun kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung merupakan regol masuk. Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol. Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali. Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan. Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya. “Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu. “He, kemarilah,” desis Wrahasta memanggil Gupala. Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap mendekat. “Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri.” Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Nah kau,” berkata Wrahasta kepada Gupita, “bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam.” “Ya,” jawab Gupita. “Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.” Gupita menganggukkan kepalanya. “Cepatlah, bersama lima orang.” Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis, “Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati dinding batu ini?” Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya. “Yang lain tinggal di sini,” perintah Wrahasta. Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil memasuki padukuhan itu. “Sakit?” bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di dadanya. “Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.” Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.” Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak kehabisan tenaga dan tertidur. Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan tangannya. Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang. Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti. Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu. Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya. Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal. Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis, “Sekarang, Gupala.” Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya. Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam. Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata masing-masing. “Hampir terlambat,” desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta. Dan perintah itu pun menyusul beberapa saat kemudian. Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu. Orang-orang itu pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup. Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan sebilah pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Wrahasta datar, “Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka pun harus kita binasakan pula.” Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain. Demikianlah mereka pun kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu. Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka. Wrahasta pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang. Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat. Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya pun putus karenanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu. “Lemparkan ke balik pagar batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa.” Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu. Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke balik pagar batu di pinggir jalan. “Kita melanjutkan perjalanan ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata Wrahasta kemudian. Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut, “Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.” Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Kau sangka orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?” “Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada membunuhnya?” “Ah, kau.” geram Wrahasta. “Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan dapat diselesaikan.” Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik, “Memang kau benar-benar aneh, Kakang.” Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi. “Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,” perintah Wrahasta selanjutnya. Maka pasukan kecil itu pun kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu di mulut lorong. “Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Orang itu pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur. “Tidak lebih dari lima orang,” berkata orang itu kepada Wrahasta. “Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.” Kelompok kecil itu pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.” Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu. Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului untuk merambas jalan. “Pasukan induk telah maju,” lapor petugas itu. Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” katanya, “semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.” “Ya.” Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena desa itu agak lebih besar. “Ada tiga jalan memasuki desa itu,” berkata salah seorang petugas sandi. “Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan mereka tertidur nyenyak.” “Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti sejenak. “Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka pun lengah.” Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini. “Memang mereka tidak sedang tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta, “tetapi mereka tidak lebih dari lima orang.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu. Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi kenyang sama sekali. Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh Wrahasta itu terluka di pundaknya. “Jalan telah terbuka,” geram Wrahasta. “Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan menyusun gelar.” “Terlampau dekat,” tiba-tiba salah seorang pengawal menyahut. Wrahasta menggeleng, “Tidak. Tidak terlampau dekat.” “Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas.” “Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka.” “Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata, “Kita mempunyai banyak kelebihan dari lawan.” Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya. “Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian. Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia berkata, “Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di tengah-tengah bulak ini.” Wrahasta berpaling. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan.” Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh telinganya. “Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Dan mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.” Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi. Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat, berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan, mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata Samekta di dalam haitinya. “Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik, namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.” Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,” desis Samekta. “Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.” Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh keragu-raguan di dalam hatinya. “Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya untuk, melawan Ki Tambak Wedi?” Sementara itu induk pasukan Menoreh itu pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata, “Para peronda di desa itu pun akan segera binasa.” “Hati-hatilah,” desis Gupita dengan serta-merta. “Aku sudah cukup mengerti,” bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.” “Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut Gupita. “Persetan,” jawab Wrahasta, “kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.” Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan. “Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta. Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu segera berkata, “Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi. Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang sebaik-baiknya.” “Kita bukan pengecut,” jawab Wrahasta, “pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.” “Bukan. Bukan sikap pengecut,” jawab petugas sandi itu. “Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di peperangan.” “Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan beradu dada kita dapat membinasakan mereka.” Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis, “Lihatlah bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara kepada bintang-bintang di langit, “He, bintang gemintang. Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.” Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka, “Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.” Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil berbisik, “He, apakah Wrahasta menjadi gila?” “Hus,” desis Gupita. “Tetapi cara ini memang sangat berbahaya.” “Tetapi menyenangkan,” desis Gupala. “Aku sependapat.” “Ah, kau pun telah menjadi gila pula.” Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun Gupala tidak berkata sesuatu. Tetapi Gupita pun menyadari, bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya. “Apakah menariknya perkelahian serupa itu?” katanya di dalam hati. Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di depan mereka. “Wrahasta,” berkata Gupita kemudian, “bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan gagal.” Wrahasta mengerutkan keningnya. “Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan Menoreh akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.” “Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.” “Bagus,” jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita, “sebagian dari kalian harus berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini seorang diri.” “Kenapa?” bertanya Gupita. “Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku seorang diri.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula. Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk memecah. Katanya kemudian, “Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.” Para pengawal di dalam kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang terdapat di dalam gardu?” “Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?” “Bukan takut.” “Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari seorang?” Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas kita.” “Itu akan tergantung kepada kemampuan kita,” sahut Wrahasta. “Seandainya ada di antara mereka yang sempat membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang tidak mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan.” Petugas itu sama sekali tidak puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benar-benar menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang gemuk itu. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta. Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit. Sedang yang lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar, bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka akan menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi semakin terasa menggigit tulang. Namun di antara mereka itu terdapat seorang yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di depannya dengan tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan mendekatinya. Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap. Orang itu menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya. Ketika bayangan itu tinggal beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil bertanya, “Siapa kau, he?” Tidak segera terdengar jawaban. “Berhenti di situ!” penjaga itu mulai curiga. “Siapa kau?” Masih belum terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih melangkah maju. Orang-orang yang berada di dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil bertanya, “Kau berbicara dengan siapa?” Penjaga itu tidak menjawab, namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung masing-masing. “Siapa kau?” pertanyaan itu terdengar kembali membelah sepinya malam. Kini bayangan itu berhenti. Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa. “Berapa orang kalian?” bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada. “Siapa kau? Jawab pertanyaanku!” bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah setapak maju. Ketika jarak kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis, “Kau Wrahasta?” Mendengar desis itu, maka kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil bersilang tangan. “Hem,” Wrahasta menggeram, “Tanda, Nala, Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau? Aku mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa, karena kalian adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.” Beberapa orang segera mendesak maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin akan dirinya sendiri. “Apa kerjamu di sini Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala. “Kau masih bertanya juga?” jawab Wrahasta. “Seharusnya kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.” Nala mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya, “Kau jangan asal membuka mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak memerintah aku lagi dengan cara apa pun juga.” “Aku memang tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang pengkhianat,” sahut Wrahasta. “Diam!” bentak Nala, “Aku telah mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?” “Jangan banyak bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.” “Wrahasta, ada dua kemungkinan yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati, atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang barangkali memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat kebenaran perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.” Wrahasta tertawa pendek. “Berapa orang seluruhnya.” “Tiga belas orang,” jawab Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak. “Tetapi orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan Gupita,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Nah, kau dengar jumlah itu,” berkata Nala kemudian. “Apakah kau mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona atau Narantaka?” Tetapi Wrahasta justru tertawa. Jawabnya, “Jangan berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu, kami bunuh.” “Persetan. Menyerahlah.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan. “Kepung raksasa yang sedang bingung ini.” Beberapa orang segera bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut. Dengan demikian maka orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut. Gupita menarik nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga itu masih tetap berada di depan regol. “Hati-hati,” teriak Nala kemudian, “aku belum mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat. Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya.” Mendengar kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah tiba. Dengan demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya menggeletar, “Sekarang. Hancurkan seisi regol ini.” Suara itu segera disambut oleh Nala, “Benar kataku. Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.” Para pengawal yang memang sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap menyongsong mereka. Kali ini para pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur. “Gila kau, Wrahasta,” geram Nala. Terdengar suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya, “Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu demi satu.” Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat Gupita dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya, namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya. Para penjaga regol itu segera merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol. Wrahasta yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, “ He, orang itu. Orang itu.” Tetapi jarak mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian yang masih menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk membunyikan tanda. “Tahan orang itu!” terak Wrahasta. Tidak akan ada seorang pun yang mampu meloncat sejauh itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk mengayunkan pemukul itu. Namun tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya ketika terasa sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh tertelungkup. Sejenak kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan. Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta. Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya. Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta. Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta, disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar salah seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata kepadanya, “Hukuman yang pantas bagi seorang pengkhianat.” Nala menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya. Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya. Matanya pun menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya. Wrahasta berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat tertawa sambil menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka Wrahasta. “He, kenapa dia?” “Ia terbunuh dalam pertempuran ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi, ada juga yang mati di antara kita?” Pengawal itu mengangguk. “Gila, siapa yang membunuh?” “Salah satu dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini.” “Gila. Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami kehilangan seorang kawan.” “Dan tiga orang telah terluka.” Wrahasta seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga. “Kita berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?” geram Wrahasta. Tidak seorang pun merasa wajib untuk menjawab. Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam. “Kita harus menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan.” Para pengawal itu masih belum juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala, “Lebih dari sepuluh.” Wrahasta berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba perutnya, “Berapa orang yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh, dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain di dalam desa ini yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, lebih dari sepuluh.” “Tetapi akan lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara Gupita, “Setidak-tidaknya kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu.” “Tentu. Kita tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab Wrahasta. “Benar. Namun kita harus berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita harus menghemat tenaga.” “Aku tidak mengerti maksudmu.” “Kita tidak perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik kita mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya, “Lalu, bagaimana sebaiknya?” “Kita berjalan terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan cara-cara yang paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.” Wrahasta tidak segera menjawab. “Kita akan mendekati setiap gardu dengan diam-diam.” “Kemudian berkelahi melawan orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang kita tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan. Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.” “Bodoh. Terlalu bodoh,” bantah Wrahasta. “Aku sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang kau maksudkan.” Gupita tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya, “Kau memang aneh, Kakang.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu membisikkan kalimat-kalimat itu. “Baiklah, kita akan maju lagi. Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai, barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk.” Setelah meletakkan mayat seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih mungkin untuk bertempur. Demikianlah ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba untuk menilai kekuatan lawan. “Paling sedikit mereka berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan hasil pengamatannya kepada Wrahasta. Wrahasta mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada beberapa orang yang terluka. “Tetapi tugas ini harus kita laksanakan,” geramnya. “Kita harus menyergap dengan tiba-tiba,” desis Gupala, “Kali ini kita tidak boleh bermain-main.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Marilah, kita mendekat.” Dengan sangat hati-hati kelompok itu pun maju mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol. Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan. “Jangan beri kesempatan mereka mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak berselisih terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan. Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan. Setiap orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya. Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka tangannya tiba-tiba telah diayunkannya. Demikian tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah menggeram sambil menghentakkan dirinya. Orang-orang yang sedang duduk di tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, mereka pun berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka. Hanya Gupala dan Gupita sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka. Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian sebuah pukulan mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya. Ternyata Gupita telah memukul punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan itu serasa menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan. Barulah sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Kemudian dengan senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan diri mereka di sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam pertempuran yang singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar. Gupita dan Gupala segera melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya. Kini tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban akan berjatuhan di pihaknya. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain. Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya. Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada. Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada. Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala. Namun ia tidak dapat menahan kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang kawannya telah terbunuh. “Gila. Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka.” “Dan kita masih belum selesai,” desis Gupala. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini. “Jadi,” kini Wrahastalah yang bertanya, “apakah kita akan melanjutkan tugas ini?” Gupita terdiam sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak akan mampu lagi bertempur sewajarnya. “Tinggal tujuh orang yang masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya. Gupala yang berdiri beberapa langkah daripadanya pun menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan. “Tetapi tanpa perambas jalan, maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala di dalam hatinya. Sejenak kemudian Gupita menarik nafas. Katanya, “Terserah pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu berikutnya.” Wrahasta memandang anak buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya, “Nah, bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu. Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.” Tidak seorang pun yang menjawab. “Kita sebaiknya melanjutkan tugas ini,” desis Gupala. Wrahasta mengangguk. “Ya, itu adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya, ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik kembali bersama induk pasukan.” Orang-orang itu masih mematung. “Nah, siapakah yang berkeberatan?” Tidak seorang pun yang menjawab. “Terima kasih,” geram Wrahasta, “semua akan pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.” Meskipun demikian di antara yang terluka itu ada yang menjawab, “Aku akan ikut bertempur.” Wrahasta menarik nafas. Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan.” Mereka yang memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk pasukan. Kini tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka. Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya, apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar padukuhan. Dengan sangat hati-hati, mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini pun pasti dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi. Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada Wrahasta. “Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya sendiri. Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia bertanya, “Bagaimanakah pertimbangan kalian?” Yang menjawab adalah Gupala, “Kita sudah berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita. “Baiklah kita selesaikan tugas kita,” desis Gupita pula. “Kita harus berjuang mati-matian. Mungkin di dalam gardu itu masih ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita harus lebih berhati-hati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga kita akan dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap. Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok yang lain dipimpin oleh Gupala. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu. Semakin dekat kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka. Beberapa langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah. Gupita yang menyusur dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk. Kini para pengawal itu dapat melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu. Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka meskipun tidak terlampau parah. Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam. Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya. Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah langit. “Sekarang. Binasakan mereka.” Setiap orang di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka. Tetapi Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan menyongsongnya. Wrahasta segera menyerang orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang hanya sekejap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum para penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan penuh kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan kedua kawannya. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba, sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah cambuk panjang. “Orang-orang di seberang bulak itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Apabila ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan mengganggu.” Dan ternyata serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah lawannya itu dengan demikian telah terbunuh. Dengan segera Gupala telah menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah karena kemarahan yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak, para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur diri dalam perlawanan yang teratur. Meskipun di saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah mereka masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu. Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya. Dengan demikian, maka sepasang cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk yang mampu menyayat kulit. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuat-kuat tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu. Namun agaknya Gupita dan Gupala-lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anak-anak muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban yang semakin banyak. Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya bertempur. Namun keduanya memang memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka segera berhasil mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah segera membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu untuk menolong kawan-kawannya. Demikianlah maka pertempuran kecil itu segera mencapai puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang dengan seorang. Meskipun demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah mereka kuasai. Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal. Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya. Yang sealu mendapat perhatian dari para pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu maka para pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain. Ternyata Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya, maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya. Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati. Kawan-kawan orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang mampu berkelahi dengan cara itu. Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawan-lawannya. Setiap kali salah seorang lawannya terlempar dari gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu pun telah menyengatnya pula. Ternyata ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya, terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan senjata di dalam genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan, maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Demikianlah kedua anak-anak muda itu telah berhasil menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun segera berusaha membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya. Meskipun tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai. Para penjaga itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung tombak itu masih juga mengenainya. “Ternyata kita telah menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis Wrahasta. Gupita dan Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh sebagai banten. “Tetapi pengorbanan mereka tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan. “Adalah wajar setiap orang yang memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga.” Gupita dan Gupala masih tetap berdiam dri. “Nah, siapakah di antara kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya Wrahasta. Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada orang-orangnya yang telah terluka itu. Dan tiba-tiba saja Gupita menyahut, “Biarlah aku pergi ke induk pasukan.” “Bukan, bukan kau,” jawab Wrahasta dengan serta-merta. “Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang yang dengan sukarela telah membantu kami.” “Aku akan pergi dengan suka rela pula” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya terhadap anak muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakan-akan ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi. “Apakah keberatanmu kalau aku melakukannya?” bertanya Gupita. “Aku tidak mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa kepada kami.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata, “Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki Tambak Wedi.” Gupala mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di sini.” Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan tiba-tiba. Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan. “Korban masih akan berjatuhan,” desisnya, “dan mayat pun akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling membunuh di peperangan.” Tetapi Gupita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya, maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi. Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari jalan penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk menentukan kebenaran. Yang menang akan menjadi kebanggaan, dan yang kalah menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi timbal-balik tanpa menghiraukan tuntutan nurani kemanusiaan. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di wajahnya dua orang yang kini sedang beradu kepentingan. Kalau Argapati menang, maka ia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan Tanah Perdikan ini, namun apabila Ki Tambak Wedi menang, maka pengikutnya akan meneriakkan kidung kemenangannya itu sebagai seorang yang telah membebaskan Tanah Perdikan ini dan membawa udara pembaharuan. “Tetapi betapa dalamnya, namun di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh peradaban manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Mereka akan berbicara tentang hak dan tentang keadilan.” Gupita mengerutkan lehernya ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya. Kemudian langkahnya pun menjadi semakin cepat. Sementara itu, Gupala, Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup meskipun terluka, duduk di bibir gardu sekedar melepaskan ketegangan hati. Namun dalam pada itu, Gupala pun kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam, “Kalau aku tertidur, jangan tinggalkan aku di sini.” Wrahasta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main orang ini,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Perang yang telah membayang di pelupuk, bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar permainan kejar-kejaran saja.” Tetapi Wrahasta tidak mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak kemudian nafasnya pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam. Tetapi telinga Gupala memang telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia pun segera terbangun ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dua ekor kuda. Dengan sigapnya Gupala meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis, “Kuda itu datang dari sana. Dari padukuhan induk.” Wrahasta dan kawan-kawannya yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula. “Ya. Suara itu datang dari sana.” Sementara itu dua orang sedang berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya telah membuat mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi. “Barangkali Sidanti sedang diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya, “Apa salahnya kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah terganggu.” “Kalau terjadi sesuatu, mereka pasti akan memberikan tanda apa pun.” “Kecuali kalau mereka sudah berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.” “Sebenarnya kita tidak perlu pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar di gardu.” “Tetapi telinga Sidanti yang sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya memang mendengar ledakan cambuk.” Kawannya tertawa dan berkata, “Sekali lagi aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.” Keduanya kemudian terdiam. Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang semakin dekat, seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam. “Sepi,” desis yang seorang. “Tetapi di gardu itu terdapat orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Ketika mereka telah menjadi semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam gardu itu. “Aneh,” bisik yang seorang. “Marilah kita lihat.” Keduanya menjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya dengan serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.” Yang lain pun segera bersiap. Dengan sigapnya pula dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan. Tenyata mereka telah melihat mayat yang terbujur di tanah. “Mereka telah mati,” desis salah seorang dari mereka. “Nah, kau lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi buruk? Ternyata memang telinga kitalah yang tuli.” “Sekarang bagaimana?” “Kita bunyikan tanda bahaya.” Kawannya menganggukkan kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati. Pedang-pedang mereka telah siap di tangan. Tetapi mereka tertegun karena di gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun. Sejenak kedua orang itu saling berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di manakah kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama sekali tidak menemukannya. “Gila,” desis salah seorang dari mereka. “Agaknya orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah pergi sambil melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan tanda-tanda.” “Tetapi induk pasukan harus segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan. Jika demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang bersenjata cambuk itu.” “Kita harus menemukan jejaknya.” “Terlampau berbahaya. Mereka pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi gardu ini terbunuh. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak sempat membunyikan tanda bahaya.” “Kalau begitu?” “Kita kembali. Kita laporkan semuanya kepada Sidanti.” “Ya. Begitulah.” Tetapi sebelum kuda-kuda mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara, “He, bukankah kalian bernama Kirti dan Juki?” Kedua orang berkuda itu terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi mereka sama sekali belum melihat dari manakah arah suara itu. Dalam kebingungan mereka mendengar suara dari suatu arah, “Kirti dan Juki, kenapa kau menjadi bingung?” Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He, setan alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.” Tetapi terdengar suara yang lain lagi, “Jangan marah Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.” Keduanya menjadi semakin bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah. Tetapi keduanya bukan penakut yang segera kehilangan akal. Karena suara yang mereka dengar juga selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kirti berdesis, “Tidak ada gunanya untuk melawan. Kita harus melaporkannya.” Juki menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu. Namun kuda-kuda itu segera terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang, ketika tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki mereka. Hampir saja penunggangnya terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka tidak terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar telah menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir berbareng. Dengan sigapnya mereka berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri di atas kedua kaki masing-masing. Sedang pedang mereka masih tetap di dalam genggaman. “Siapa kalian, setan!” bertanya Juki. Yang berdiri di hadapan keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia berkata, “Kalian harus tetap berada di sini.” “Siapa kau?” “Kami telah terpaksa membunuh orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa. Tetapi tidak terhadap kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat lain. Apalagi kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci, maka aku pasti akan dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu ini. Sebagai bukti ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan kami tunjukkan kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa sekali. Dan bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan pula selama pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.” Kedua orang itu menggeretakkan giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam. “Jangan melawan.” “Persetan dengan kau!” teriak Kirti. “Kaulah yang harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan segala kesalahanmu.” “Ah, jangan berpura-pura. Aku tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian berterus terang. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin mengikat kalian di dalam gardu itu.” “Lihat, aku bersenjata. Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.” Gupala tiba-tiba saja tertawa, “Ah, jangan berbicara seperti dalang wayang beber.” “Persetan!” kedua orang itu merasa benar-benar terhina. “Berlakulah jujur. Kalian ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga menjadi ngeri. Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita bertempur, maka baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini pasti akan bertambah.” Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Serentak mereka melangkah maju. Namun langkah itu tertegun mendengar anak yang gemuk itu berkata, “Kalian telah terkepung. Kami mampu membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun ada juga korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau menyerah, kami akan menghidupi kalian.” Kedua orang itu tertegun. Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi untuk menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia menghindar sambil berkata, “Jangan membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat kenyataan yang kalian hadapi.” Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan serangan berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya. Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu banyak berbicara. Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya. “He, jangan gila.” Gupala masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan seorang nelayan yang sendiri di lautan lepas. Kedua lawannya masih tetap menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar. Tetapi ternyata Gupala bukan seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi lawan-lawannya yang demikian. Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap sewenang-wenang lagi, karena ia sudah mencoba memberi pringatan kepada lawan-lawannya. Tetapi karena mereka tidak menghiraukannya, maka apa boleh buat. Dan Gupala memang tidak begitu berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua orang yang baginya terlampau sombong itu, sama sekali tidak diberinya kesempatan lagi. Kali ini Gupala bertempur dengan pedang. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia memukul senjata lawannya. Sentuhan pertama membuat tangan lawannya menjadi pedih. Sedang sentuhan berikutnya telah melemparkan senjata lawannya beberapa langkah dari padanya. Gupala segera menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka berloncatan dan mencoba memencar. Namun nasib mereka memang terlampau malang. Tanpa mereka duga, tiba-tiba saja muncul beberapa orang di belakang mereka, sehingga mereka telah terkepung rapat. Dan ternyata bukan sekedar sebuah kepungan yang rapat. Sejenak kemudian kepungan itu telah menyempit, dan tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, beberapa ujung senjata telah hampir melukai tubuhnya. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” terdengar suara yang bernada dalam. Kedua orang itu berpaling. Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. “Sudah terlampau banyak korban di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain, “sedang kita masih belum cukup mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.” “Sudah sekian banyak kita membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan?” Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Adalah kurang bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.” Ketika mereka berpaling, mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Gupala dan beberapa orang yang lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat mengenal orang itu, “Ki Peda Sura.” Karena itu, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata, “Memang luar biasa. Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua orang yang ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun memerlukan kalian sebagai gantinya. Setuju?” Darah Gupala segera menjadi panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura adalah seorang yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan bertahan beberapa lama. “He, kau anak yang gemuk,” desis Ki Peda Sura. “Kau memang anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh. Tetapi kau kurang cermat. Kedua ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu aku jumpai di pinggir padukuhan induk. Dan salah satu di antaranya telah aku pergunakan kemari, karena aku menjadi curiga karenanya.” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang berkuda, aku akan mendengar derap kakinya.” Ki Peda Sura tertawa. Katanya, “Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum kuda itu mendekat.” Gupala tidak menyahut. Dan Ki Peda Sura berkata, “Aku berhenti beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu ini, tempat kalian menjebak orang-orang Sidanti.” Gupala menjadi semakin marah. Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu maka katanya, “Wrahasta. Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci itu. Kita akan menangkap musang.” Suara tertawa Ki Peda Sura menjadi berkepanjangan. Katanya, “Kau memang terlampau sombong. Aku tidak peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin menjadi pembunuh-pembunuh licik, maka bunuhlah orang-orang yang sudah tdak berdaya itu apa pun alasannya. Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan aku lakukan adalah menuntut kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo dari mereka yang terbumuh adalah orang-orangku.” “Dan sebentar lagi kau sendiri.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras. “Kau memang sedang mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.” Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah kaki di balik rimbunnya dedaunan. “Siapa yang bersembunyi?” teriak Ki Peda Sura, “Apakah masih belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku persilahkan kalian keluar dari persembunyiannya.” Sejenak suasana menjadi sepi. Tidak seorang pun yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri tegang dan bersiaga, sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di antara beberapa orang yang mengacungkan senjatanya. Suara gemerisik di balik rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba mendengarkan setiap suara, namun suara desir itu sama sekali tidak mereka dengar. “Kita tidak tahu,” berkata Gupala, “apakah suara itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang itu kawanmu, baiklah ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap bersembunyi agar aku sempat membunuh kau lebih dahulu.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang berdiri tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat diharapkannya lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan membinasakan mereka. Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya. Ditambah seorang yang cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya. Orang tua itu menimbang sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan demikian ia mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para peronda di gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya. “Berita ini sangat penting. Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan banyak waktu,” katanya di dalam hati. Tiba-tiba saja maka Ki Peda Sura itu menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju. Gupala terkejut, segera pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping menjauhi Gupala. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru menjauhi lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar padesan. “He, kemana kau akan lari?” bertanya Gupala. Tetapi Gupala tidak dapat berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari balik dedaunan mencoba mengejarnya. Ternyata Ki Peda Sura menambatkan kudanya agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan sidatan. Dengan lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik kendali yang disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil. Sebelum orang-orang yang mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti disentuh hantu. Dalam saat yang sekejap itu, ternyata kedua orang yang telah tidak bersenjata itu pun sempat melarikan dirinya. Tetapi mereka tidak mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan serta-merta mereka meloncat pagar batu dan menghilang di dalam rimbunnya dedaunan. Gupala, Gupita yang mencoba mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu. Beberapa orang yang sedang mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu sehingga dapatlah kedua orang yang hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan dirinya. Sejenak mereka berkejaran, namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam gelapnya malam, dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat. Dengan wajah yang merah padam Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul, Wrahasta itu menggeram, “Sia-sialah semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita akan diketahui oleh Ki Tambak Wedi.” Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau dekat. Aku telah melaporkan semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan yang khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura dapat melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Aku sudah mendengar derap pasukan induk itu.” “Mereka harus segera mendengar apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta. “Ya, dan mereka harus segera memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan induk.” Wrahasta tidak menjawab. Ujung pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya, pasukan itu muncul dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan seksama mendengarkan laporan Wrahasta tentang tugasnya. “Tetapi disaat terakhir mereka mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata Wrahasta kemudian. “Belum dapat disebut demikian. Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu ini dan membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta. “Namun ia akan dapat menarik kesmpulan.” “Kita sudah cukup dekat. Kita akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk, sebelum mereka berhasil menyusun kekuatan.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala tua, Hanggapati, dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta menyampaikan semuanya itu kepada Ki Argapati. “Kau sudah bertindak tepat. Lakukanlah.” Samekta pun kemudian kembali ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian disalurkan ke setiap pemimpin kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang gelar di depan padukuhan itu. Sejenak kemudian pasukannya menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang sedang menghijau di sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula tanah berlumpur dan pematang-pematang. Demikianlah, sejenak kemudian Samekta telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua anak-anaknya berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing berada di sayap. Seperti yang pernah direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga masing-masing harus berada di sayap sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan, Sidanti dan Argajaya pun akan berada dan memimpin masing-masing sebelah sayap. Sedang Gupita dan Gupala di pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut dugaan orang-orang Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak Wedi. “Kalau mereka tidak sempat menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta, “maka Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari Sidanti dan Argajaya.” Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada dalam susunan gelar prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada umumnya pangkat mereka telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak, tingkat tanggung jawab dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan menempatkan orang demi orang yang harus saling berhadapan, selain senapati-senapatinya. Sejenak kemudian maka Samekta pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera berderap maju. Dalam gelar, mereka menembus tanah persawahan yang sedang ditanami. Para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian terbesar terdiri dari keluarga petani yang telah agak lama tidak mendapat kesempatan bersentuhan dengan daun padi muda, merasa sangat sayang menginjak-injak tanaman itu. Tetapi apa boleh buat. Mereka harus maju dalam gelar yang siap melawan pasukan lawan. Baru beberapa langkah mereka maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan menggema di padukuhan induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan melaporkan apa yang telah mereka 1ihat. “Setan alas!” teriak Ki Tambak Wedi. “Tidak seorang pun yang dapat hidup di gardu itu?” “Ya.” “Berapa orang yang telah menyerang mereka?” “Aku tidak tahu. Tetapi sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada di sana sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh korban pula.” “Terlalu,” Ki Tambak Wedi menggeram. “Tetapi, apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam ini bersama seluruh kekuatan?” “Aku tidak tahu. Tetapi hal itu mungkin mereka lakukan.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. “Apakah Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan Argapati telah mati, sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk padukuhan ini?” “Salah satu dari dua kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi orang yang sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih berat.” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya. Para penjaga menjadi semakin bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka, “Kenapa suara tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang mendapat tugas untuk memimpin sayap pasukan mereka. “Aku mendengar suara cambuk sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku menyangka salah seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering mempergunakan cambuk seperti yang selama ini kita lihat.” “Maksudmu orang-orang yang mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit Pajang itu?” “Ya, meskipun pada keadaan tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.” “Berhati-hatilah. Kita tidak boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun pasti akan membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk merebut kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.” Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di gardu-gardu pun telah mereka tarik sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan. “Kita dapat mengirimkan dua orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang mendekat,” berkata Ki Tambak Wedi. Ketika kedua orang itu meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura telah hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa petunjuk untuk menghadapi lawan. “Kita melawan di depan padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan. Kita akan menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.” Pasukan yang belum lengkap benar itu pun kemudian bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan dan lapangan kecil di muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil menunggu kelompok-kelompok yang akan segera menyusul. “Cepat, kita tidak boleh tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti. Pasukan itu pun maju semakin cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari regol. Namun bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari. Setiap orang menjadi berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau menjawab setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu. Karena itu maka kedua orang itu langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Mereka menemukan Ki Tambak Wedi dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura. “He, apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti. Dengan nafas terengah-engah salah seorang dari mereka berkata, “Aku melihat sebuah barisan mendatang.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata, “Sebuah barisan yang kuat.” “Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Apa kau dapat mengetahui, siapakah yang memimpin pasukan itu?” Keduanya menggelengkan kepalanya. “Baik,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita songsong mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa Argapati tidak akan mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang itu sudah mati.” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan isyarat ia mengembangkan tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera menebar. Kali ini Sidanti dan Argajaya langsung pergi ke sayap sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura berada di induk pasukan bersama Ki Tambak Wedi. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi masih belum utuh, namun sebagian besar dari kekuatannya sudah berkumpul, sementara kelompok-kelompok kecil masih mengalir dan menggabungkan dirinya. Demikianlah maka dua pasukan yang telah berada dalam gelar telah saling mendekat. Ternyata usaha Wrahasta untuk membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan korban yang tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti tidak berguna sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan kurang cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Sementara itu Samekta pun telah mendapat laporan pula bahwa ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya. Dan kini pasukan itu telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh. “Kita memang harus bertempur sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada di ujung pasukan. “Ya, tetapi bagaimanapun juga, persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka mendapat cukup kesempatan.” “Mereka tidak akan sempat membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah bersiap menyongsong kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar seperti yang dapat kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan mereka.” “Ya, dan mereka sengaja menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di pinggir padukuhan,” desis gembala tua itu. Lalu, “Kita harus mulai dengan mengejutkan mereka.” Samekta mengerutkan keningnya. “Kita berhenti apabila kita sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh. Kita akan menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak siap untuk menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak mempersiapkan perisai secukupnya,” berkata gembala itu. Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata, “Siapkan mereka yang bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri. Apabila keadaan tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke tempatnya dan mempergunakan senjata pendek.” Perintah itu sejenak kemudian telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera maju di depan pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak kebingungan. Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh untuk peperangan berikutnya. Mereka yang membawa busur dan anak panah itu kemudian menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada busurnya. Wrahasta yang berada dan memimpin sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya. Kepada salah seorang yang memegang busur ia berkata, “Berikan busur dan panah itu.” Orang itu termangu-mangu sejenak. “Aku akan mempergunakannya.” “Tetapi?” “Aku akan tetap memimpin sayap ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan anak panahmu.” Orang itu tidak dapat menolak. Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya. Hanggapati yang kebetulan berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau memerlukannya?” “Ya. Aku harus mendapat korban yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali pahlawan di saat kita belum mulai.” “Tetapi kalian telah berhasil membinasakan jauh lebih banyak.” “Belum cukup. Setiap orang sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya dengan sepuluh orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang sekaligus.” “Ah,” desah Hanggapati, “kau akan membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.” Tetapi Wrahasta tertawa. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?” Hanggapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku adalah seorang perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak mungkin dapat diusahakan oleh ayahku.” Hanggapati tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak. Sambil menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali tidak dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya. Dan tiba-tiba Wrahasta meneruskan, “Tetapi ibu tidak panjang umurnya.” “O,” Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ayah juga tidak panjang umur.” “O,” Hanggapati masih mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?” “Ya. Ibu sudah tidak ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.” “Kau satu-satunya anak?” Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.” “Di mana mereka sekarang?” “Satu adikku ada di dalam barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku tidak tahu apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau tidak. Tetapi aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang lain berada di padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.” Hanggapati menganggukkan kepalanya. “Kakakku sudah beranak empat orang,” berkata Wrahasta, kemudian, “sehingga dengan demikian aku tidak akan mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu akan terputus.” Hanggapati mengerutkan keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta yang suram. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kedua anak gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan apa-apanya.” “Apakah maksudmu?” bertanya Hanggapati. “Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh sebelumnya tanpa melihat kelebihan yang ada pada mereka.” Hanggapati menjadi semakin heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal, seolah-olah begitu saja berloncatan dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. “Di depan kita pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita. Apakah kau sudah siap, Ki Hanggapati?” “Ya. Aku sudah siap.” “Apakah kau akan bersenjata cambuk atau pedang atau keduanya?” “Aku biasa mempergunakan pedang.” Wrahasta tertawa. Tetapi tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi semakin dekat. Bahkan karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi tidak sempat memadamkan obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk gelapnya malam itu telah tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan setiap orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula. Ternyata kedua belah pihak selalu mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti jarak antara kedua pasukan itu. Karena itu, ketika pengawas yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan bahwa pasukan Ki Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir bersamaan seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa pasukan Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar. “Apakah pasukan Ki Tambak Wedi telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas itu. “Aku kurang tahu. Tetapi mereka telah berada di dalam gelar.” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik. Kita akan segera mulai.” Sejenak kemudian Samekta memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. “Kita hampir mulai, Ki Gede,” desis Samekta. “Apakah semua sudah berada di tempatnya?” “Sudah, Ki Gede.” “Bagus. Kembalilah ke tempatmu.” Samekta menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki Argapati seakan-akan telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang akan dihadapinya telah membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri. Sedang di tangannya masih tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya. Sebelum meninggalkan Ki Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan Wangi, “Hati-hatilah, Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan liar.” Pandan Wangi menganggukkan kepalanya, “Kami telah siap, Paman.” Samekta menyapu wajah para pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu memberinya kepercayaan, bahwa mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati. Apalagi apabila para senapati lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang. Sejenak kemudian Samekta pun kembali ke tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di belakangnya kedua anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian Samekta memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi semakin dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang bersenjatakan panah. “Kalian menunggu mereka mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak kalian dapat melepaskan anak-anak panah.” Para pengawal yang telah menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri. Di hadapan mereka, pasukan Ki Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap dapat melawan pasukan Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka tidak mempergunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati. Menunggu di belakang pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh. Kecuali pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan pagar-pagar batu yang tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan yang luas, maka pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka masih melampaui kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati pasti belum dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini. Orang-orang itu, bahkan termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan ketergesa-gesaan mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan yang kini dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan segenap kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka. Meskipun demikian, ketika Ki Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung mereka, diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati. Tetapi gelapnya malam masih tetap menyaput pemandangan. Namun demikian, mata Ki Tambak Wedi yang setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di kaki langit, seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru kehitam-hitaman. Tetapi bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam. Ki Tambak Wedi yang berada di induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan mereka. Karena itu mereka pun harus berhati-hati. “Orang-orang Ki Argapati adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya. “Mungkin mereka akan melakukan sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu, kalian harus berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan dipergunakan. Juga senjata-senjata jarak jauh.” Dan pesan itu segera ternyata kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula tidak begitu menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya yang lain, hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya. “Semua yang berperisai berada di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat masing-masing. Meskipun mereka tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang pertama terbang di atas pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah serupa. Beberapa orang yang bersenjata perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil melindungi bukan saja diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan perisai-perisai. Tetapi anak panah terlampau kecil untuk dapat dibendung oleh perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya. Kadang-kadang satu dua ada saja anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai itu dan langsung mematuk dada. “Setan!” Sidanti mengumpat. Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di antara mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan anak panah mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya sekedar mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang kehitam-hitaman. Ternyata bahwa serangan pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang terlampau banyak berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan mereka. Satu dua korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah teriakan terkejut, telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi kecut. Sementara anak-anak panah terus mengalir seperti hujan. Ki Tambak Wedd menggeram melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka tiba-tiba ia berterak, “Jangan bodoh. Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk menghentikan perbuatan licik ini.” Kemudian Ki Tambak Wedi pun mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke depan, disusul oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang menjadi penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan itu pun kemudian segera berderap dengan cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju paling depan adalah induk pasukan, kemudian kedua sayapnya pun segera menyusul. Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang Ki Peda Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka menggetarkan senjata masing-masing. Samekta pun kemudian menyadari bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan lawan. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan, kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi yang langsung memimpin pasukannya, Samekta pun segera memacu barisannya menyongsong lawan. Mereka yang semula berada di depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur mereka di punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah tergenggam pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok masing-masing. Kedua pasukan yang maju itu bagaikan arus yang berlawanan. Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun berbenturan di antara sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi oleh umpatan-umpatan yang sangat liar. Dalam waktu yang sekejap, maka ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib malang, pada benturan pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya dari dorongan senjata lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang bersimpang-siur, tanpa menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang tergolek di tanah, betapa pun ia berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang kaki-kaki kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tidak akan sempat menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap ujung senjata lawan yang mengarah ke dadanya. Dalam hiruk-pikuk perang itu, beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya. Sambil melindungi dirinya dari sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan Dipasanga yang sudah terlanjur ikut terlibat di dalam perang yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu, segera berusaha menemukan lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlampau sulit, karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari lawan-lawan mereka, sebelum mereka membuat terlalu banyak korban. Dalam pertempuran itu, Hanggapati akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur melawan Argajaya. Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang pimpinan sayap-sayap pasukan mereka. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, baik Sidanti mau pun Argajaya tidak segera dapat mengatasi lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Kadang-kadang seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah seorang dari mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya. Di pusat gelar, Ki Tambak Wedi telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan berarti maut. Bahkan bukan saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas kematian, tetapi tangan kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut dan sikunya pun ikut pula membunuh atau setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berani mendekatinya. Di ujung gelar lawan, gembala tua itu melihat seseorang mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera ia mengenal bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi. “Apa boleh buat,” berkata gembala itu di dalam hatinya. “Tidak ada pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak Wedi kini telah sampai ke puncaknya, sehingga benar-benar harus dihentikan.” Dengan demikian, maka tanpa ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak Wedi yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan. “Mana Argapati, he, mana Argapati?” iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab. Dalam keremangan cahaya bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap bayangan seseorang yang berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa orang bersenjata lengkap. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, siapa yang berada di belakang barisan ini? He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti sebentar. Kemudian, “Kau pasti Argapati. Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa pasukanmu membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.” Suaranya menggelepar di dalam hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang menggema di sela-sela deru angin pusaran. Setiap hati mereka yang mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan duri yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan. Ki Argapati yang tidak terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap kata-kata Ki Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu pasti berisi lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya tergerak dan ujungnya merunduk ke depan. “Ayah tetap di sini bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya. Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak lagi, “He, kenapa kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya kau dapat bersembunyi di dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka tetapi kau berada jauh-jauh di belakang?” Ki Argapati masih belum mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya gemeretak. “Baik, baik,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kalau kau tidak mau maju, akulah yang akan datang kepadamu.” Ternyata Ki Tambak Wedi tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar mendekati Ki Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan lawan dengan memutar senjatanya. Para pengawal Menoreh benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu, sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu benar akan tugasnya, sehingga langkah Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin lancar. Namun tiba-tiba, langkah iblis itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di hadapannya, di jalur jalan yang telah tersibak, berdiri seseorang dengan tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun betapa pun suramnya malam, ia segera dapat mengenal orang yang berdiri di hadapannya itu. Hanya beberapa langkah. Tiba-tiba pula Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat, “Setan alas, kau ada di sini pula?” Orang itu maju selangkah. Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya. “Kelakuanmu telah sampai ke ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya. “Karena itu, sebaiknya kau mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di atas tanah perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar dari seluruh Tanah ini.” “Jangan menggurui aku Setan Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga ini.” “Kau telah memaksa Sidanti mengkhianati ayahnya.” “Argapati bukan ayahnya.” Sepercik keheranan merambat di hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya. Perang menjadi semakin lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di sekitarnya. Karena itu maka gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambungnya. “Aku tidak akan bermain-main lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.” Ki Tambak Wedi menatap ujung cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar cambuk seorang gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya bintang dari bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik yang berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar. Kini Ki Tambak Wedi merasa, bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari segala-galanya. Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya selama ini. Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu digemparkan oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk itu tidak memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa orang ini ada di antara pasukan Argapati. Sepercik ingatan tentang Ki Peda Sura telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia melawan Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini bersenjata cambuk. Namun senjata cambuk itu kemudian menjadi kabur oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang dari pengawal berkuda yang berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk. Kemudian dua orang prajurit yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur melawan Sidanti dan Argajaya pun bersenjata cambuk. Tetapi kini ia bertemu dengan orang yang sebenanya. Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata, “Kalian sedang membunuh diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya bersama Ki Argapati. Sejenak mereka masih saling berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi berkata, “Apa boleh buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung kemampuan dalam peperangan yang dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan langsung dengan aku. Tetapi sejak aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak Sidanti berada di Sangkal Putung, kau selalu mengganggu aku dan muridku. Aku kira kini sudah saatnya pula aku menghindarkan diriku dari gangguanmu.” “Kita berpendapat sama. Aku dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau menganggap bahwa aku harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh gangguanku seperti yang terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa kelakuanmu benar-benar telah berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah berkeputusan bahwa kita akan mempertaruhkan nyawa kali ini.” “Aku tidak akan ingkar.” “Kau jangan lari lagi seperti di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau pakai untuk menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.” Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia maju. Senjatanya di tangannya telah mulai bergetar. Gembala tua itu pun menyadari, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya, sehingga karena itu, ia pun harus sangat berhati-hati. Pertempuran di sekitar keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Satu-dua di antara mereka ada juga yang berusaha menyerang kedua orang tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan yang demikian tidak akan banyak berarti, apalagi di sekeliling mereka, berdiri kedua belah pihak. Kedua orang itu berkisar selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai dengan sebuah tarian maut. Sejenak kemudian maka perkelahian yang dahsyat itu pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat ilmu yang tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata mereka pun merupakan senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada taranya di tangan pemiliknya masing-masing. Begitu perkelahian itu dimulai, maka meledaklah suara cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini benar-benar telah mengejutkan seisi medan. Selama ini mereka telah sering mendengar ledakan-ledakan cambuk di peperangan atau dalam perjalanan sebagian dari mereka yang ikut dalam pasukan berkuda. Tetapi mereka belum pernah mendengar cambuk yang meledak demikian dahsyatnya. Dan seterusnya cambuk itu meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan sigapnya berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di sela-sela ujung cambuk itu langsung menyerang dada. Demkianlah keduanya segera terbenam dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar. Semakin lama semakin cepat. Kedahsyatan pekelahian di antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para pengawal dan orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian yang hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti. Ternyata gembala tua itu tidak kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri. Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit harus dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya harus meledak-ledak tidak henti-hentinya. Pada saat gembala tua itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan seksama. Tetapi mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya. Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan lawannya. Karena itu, segera mereka pun menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan berusaha melawannya. Dengan demikan maka keduanya meninggalkan arena yang dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang luas untuk menemukan lawan yang telah ditentukan untuk mereka. Sementara itu Ki Peda Sura berkelahi dengan kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak akan ada seorang lawan pun yang dapat mengimbanginya. Seperti Ki Tambak Wedi, ia menyangka bahwa Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki Tambak Wedi pula ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri karena putus asa. Tetapi terasa dadanya berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun tanpa ada henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam dadanya, rnengguncang jantung. “Siapakah orang itu?” desisnya di dalam hati. “Apakah Ki Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam suara cambuk yang memekakkan telinga itu?” bersambung Posted in Buku 041 - 050 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Gembala tua, Gupala, Gupita, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Sidanti, Swandaru, Wrahasta LihatJuga. Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) ; Api di bukit menoreh II Jalan simpang oleh: Mintarja, Singgih Hadi Terbitan: (1979) Usage Attribution-NonCommercial-ShareAlike International Topics Api Di Bukit Menoreh 001~396 Collection booksbylanguage_indonesian; booksbylanguage Language Indonesian Api Di Bukit Menoreh 001~396 Addeddate 2019-03-06 090117 Identifier ApiDiBukitMenoreh_201903 Identifier-ark ark/13960/t2h77z19f Ocr ABBYY FineReader Extended OCR Ppi 300 Scanner Internet Archive HTML5 Uploader plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. 6,118 Views 1 Favorite DOWNLOAD OPTIONS download 40 files ABBYY GZ Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 40 files DAISY Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download For print-disabled users download 40 files EPUB Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.epub download download 40 files FULL TEXT Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file ITEM TILE download download 40 files KINDLE Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.mobi download download 40 files PDF Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.pdf download 1, Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.pdf download download 1 file PNG download download 40 files SINGLE PAGE PROCESSED JP2 ZIP Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file TORRENT download download 247 Files download 46 Original SHOW ALL IN COLLECTIONS Indonesian Books by Language Books by Language Uploaded by private-library on March 6, 2019 TerusanADBM Jilid 413. Demikianlah, akhirnya Ki Patih dan orang-orang tua itu segera menempatkan diri duduk bersila di atas sehelai tikar pandan yang terbentang di tengah-tengah pendapa. Sementara Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya serta orang-orang yang lain telah ikut pula duduk bersila melingkar menghadap ke arah Ki Patih. +. ♦ 15 Juli 2010 “Jika demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati,” berkata Ki Patih, “Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah pun harus menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.” “Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.” Dengan nada rendah Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut.” “Kami akan selalu menunggu perintah.” “Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku, yang seharusnya hanya dapat kau dengar.” “Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.” Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian Ki Lurah itu pun minta diri. “Salamku bagi Ki Gede,” berkata Ki Patih, ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, Agung Sedayu dan pengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang. “Hati-hatilah,” bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya. “Ada apa Ki Lurah?” “Dua orang berkuda itu mengikuti kita, demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.” Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itu pun berdesis pula, “Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.” Kedua orang pengawal Agung Sedayu itu tidak berpaling. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah barat itu.” Kedua pengawalnya pun mengangguk. Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ke tepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain. Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut. Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi. Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka. Bahwa Agung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itu pun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka. Sambil mengumpat, kedua orang itu pun kemudian naik ke rakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lain pun segera naik pula, sehingga rakit itu pun menjadi penuh. Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itu pun mulai bergerak melintasi Kali Praga. Meskipun demikian Agung Sedayu pun berpesan kepada kedua orang pengawalnya, “Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita di seberang sungai.” Kedua orang pengawalnya mengangguk. Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka. Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh. “Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita,” desis Agung Sedayu. Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya ini tidak mereka lihat lagi. “Siapakah kira-kira mereka?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang di antaranya menjawab, “Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka. Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan baraknya, pulang ke padukuhan induk. Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu Agung Sedayu akan dapat dikalahkan. Tetapi jantung Sekar Mirah berdentang dengan irama yang wajar kembali, ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya. Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu bercerita tentang pembicaraannya dengan Ki Patih. “Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan,” berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih?” “Tidak, Mirah. Bukan itu. Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara. Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram, serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.” “Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah padukuhan kecil yang hanya mempunyai dua puluh lima orang pengawal?” “Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatukan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.” “Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya?” “Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.” “Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang?” “Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan, agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri, yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Di hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkah keresahan. Kerja sama dengan para prajurit di barak pun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana, telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada di antara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini. “Awasi mereka,” perintah Agung Sedayu. Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena mereka pun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai. Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka pun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat. Mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela perbukitan dan di hutan-hutan lereng pegunungan. Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan pun menyadari pula, bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun kembali. Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai. Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasihati anak perempuannya, agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar. “Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu,” Empu Wisanata menekankan. Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin menyusut. Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar mengubah jalan hidupnya. Di samping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka, setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil. Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata, “Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.” “Apakah mereka juga akan menyusup lewat timur?” “Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan.” “Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?” “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka” “Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?” “Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Mereka pun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.” Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Apakah Adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih?” “Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.” “Jadi apakah itu berarti bahwa Kakang Untara-lah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?” “Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain.” Dengan demikian maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya. Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya, maka ia pun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati. “Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas,” berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya. Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekuatan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan, apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari barat atau dari timur. “Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya, serta Sangkal Putung dan kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi.” “Mereka menganggap kita di sini lebih lemah?” bertanya salah seorang pembantu Agung Sedayu. “Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita di sini.” “Tetapi itu bukan ukuran,” jawab yang lain. “Aku tahu. Bahkan kemampuan para prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya yang menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh? Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar.” “Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.” “Ya. Itulah sebabnya maka kita akan terlibat langsung, jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan.” “Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan?” “Berkeberatan untuk kita langsung terjun ke arena?” “Ya.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan.” Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah siap, kapanpun kami harus terjun.” “Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikian pula gelombang perondaannya pun harus ditambah.” Hari itu Agung Sedayu pun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram. Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih. Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram adalah kekuatan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang, atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing. Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal, tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing. “Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari.” Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mohon diri untuk pulang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka. “Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah,” desis Agung Sedayu. “Ya,” sahut Sekar Mirah. Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil, Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah. Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang. Sebelum mereka sampai di halaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang. “Suara Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah. Mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang. “Kakang,” desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayoga dan Empu Wisanata. Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggenggam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya. “Bagaimana mungkin ia dapat menemukan tongkatku,” desis Sekar Mirah. “Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh.” “Salahku, Kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya.” “Ternyata ayahnya pun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasihatinya dan Nyi Dwani pun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya.” “Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi,” geram Sekar Mirah. Keduanya pun kemudian telah mendekat dengan hati-hati. Demikian Nyi Dwani melihat keduanya, maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itu pun berkata, “Jangan mendekat. Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati.” “Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati.” Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak, “Jangan maju lagi! Atau aku membunuh anak ini!” “Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar, “sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali ini, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati.” “Persetan dengan perang tanding!” jawab Nyi Dwani lantang, “Aku tahu bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu.” “Kau licik sekali.” “Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini.” “Nyi Dwani,” Sekar Mirah menjadi semakin marah, “kau kira kau mampu meloloskan dirimu? Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini.” “Agung Sedayu,” geram Nyi Dwani, “sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.” Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya. “Dwani,” Empu Wisanata itu menggeram, “jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasihatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja?” “Aku bukan anak-anak lagi, Ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu mana yang terbaik bagiku. Selama ini Ayah selalu menyalahkan aku. mencela, melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya Ayah terbangun. Pandanglah aku, Ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.” Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing, “Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu?” Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi, “Agung Sedayu! Sediakan kuda Glagah Putih! Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan batang lehernya.” Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak, “Jangan hiraukan aku! Ambil tongkat baja Mbokayu Sekar Mirah!” Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus, sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah. “Jangan cengeng atau berpura-pura!” bentak Nyi Dwani, “Jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati.” Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung. Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata, “Dwani. Meskipun kau sudah lewat dewasa, meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku.” “Dahulu aku anak Ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak Ayah yang masih harus mendengarkan nasihat-nasihat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi Ayah.” “Dwani. Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi, sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus?” “Ya,” jawab Nyi Dwani singkat. “Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap.” Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata, “Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.” Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut, “Aku memerlukannya! Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku!” “Tidak!” suara Empu Wisanata pun meninggi pula, “Serahkan kepadaku!” “Tidak!” “Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu.” “Jangan maju lagi.” “Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu, karena aku tidak membunuh anakku.” “Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati.” “Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kandangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini.” Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang langit. Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar. “Ayah,” Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar menjadi sangat marah. Sementara itu Empu Wisanata berkata, “Nah, bersiaplah Dwani. Apapun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu, aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi, daripada kau masih hidup tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorangpun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekali pun. Kau tahu bahwa aku mampu melakukannya.” Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak. Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkannya menjadi debu. Dalam kebingungan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu. Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya, maka ia akan menjadi sangat berbahaya. Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap. Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun tidak akan menduga, seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya. Namun Agung Sedayu itu pun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya. Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya. Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah, sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya, serangan itu tidak akan menyentuh orang lain. Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap, tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya. Nyi Dwani yang berdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut. Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan dihentak dengan ujung penumbuk padi. Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendur sesaat. Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil merendah, sehingga lehernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani. Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkasnya pun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di tangannya itu sudah siap diayunkannya. Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut. Sebelum ia sempat menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah. Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah, lalu tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail. Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan. Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kulitnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula. Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan, “Ampuh Ayah. Kenapa Ayah sampai hati membunuhku?” Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya. “Dwani, Dwani.” Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan. “Maafkan aku, Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi.” “Sakit, Ayah. Panas sekali.” Beberapa orang telah berloncatan mendekat. Sementara itu Rara Wulan telah berada di dalam dekapan Sekar Mirah. “Air. Aku memerlukan air.” Glagah Putih dan Sabungsari-lah yang kemudian berlari ke sumur, disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air. Empu Wisanata pun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu. Setelah diaduknya, maka air itu pun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu. Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, Nyi Dwani itu pun tidak berteriak-teriak lagi. Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih. Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkan di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun kemudian diselimuti dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani. “Sakit, Ayah,” rintih Nyi Dwani. “Kau akan segera menjadi baik, Dwani,” desis ayahnya dengan suara yang bergetar. Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang dipenuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggui, dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat. Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka di tubuh Nyi Dwani. Di keesokan harinya Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah. Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya. Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani, yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berhasil diambil oleh Nyi Dwani. Di hari berikutnya, keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur tepung beras. “Ayah,” berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat. “Ada apa Dwani?” bertanya ayahnya. “Apakah Rara Wulan ada di rumah?” “Ada, Dwani.” “Aku ingin bertemu dengan gadis itu, Ayah.” “Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani.” “Aku ingin minta maaf kepadanya.” Empu Wisanata pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan.. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya, Empu.” “Terima kasih. Nyi Lurah.” Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun menyatakan keseganannya. Dengan terus terang Rara Wulan berkata, “Hatiku masih terasa sakit sekali, Mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekatinya bersama Mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai.” “Kau harus berjiwa besar, Rara,” berkata Sekar Mirah, “ia ingin minta maaf kepadamu.” “Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada Mbokayu dan kepada siapapun, setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil?” “Ia tidak akan berhasil, Rara. Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemuinya bersama Mbokayu.” “Ya. Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu.” Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian melangkah di depan sambil berdesis, “Empu Wisanata ada di dalam.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanata-lah yang berbisik di telinga Nyi Dwani, “Dwani, Rara Wulan telah berada di sini.” Nyi Dwani membuka matanya. Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan ia pun berkata, “Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara. Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku, dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara.” Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat tongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus, dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya. “Rara. Kau mau memaafkan aku?” Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanata pun bertanya. “Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani?” “Ki Saba Lintang.” “Kapan?” “Beberapa kali ia datang, Ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain.” “Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu?” “Ya, Ayah.” “Dan kau terpengaruh lagi?” “Ya, Ayah,” terdengar Nyi Dwani itu terisak. Katanya kemudian, “Hatiku memang rapuh, Ayah.” “Kau harus mengingatnya Dwani. Kau tidak boleh kehilangan penalaran lagi,” Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu, ia berada di sekitar rumah ini pula?” “Ya, Ayah.” “Kau yakin?” desak Empu Wisanata. “Aku sudah mendengar isyaratnya.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata, “ Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?” “Agaknya ia mengetahuinya, Ayah.” “Tetapi ada baiknya juga, Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu.” “Ya, Ayah.” “Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kau pun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu,” berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya, “Dwani. Seandainya kau mencobanya lagi, maka aku pun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi, meskipun tidak aku inginkan.” “Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani. “Nah, berbicaralah dengan Rara Wulan sekarang.” “Rara,” berkata Nyi Dwani kemudian, “aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk. “Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun mengangguk kecil. Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Aku maafkan kau, Nyi Dwani.” Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulan pun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah. Dengan tangannya yang lemah, Nyi Dwani menggapai tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis, “Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik.” Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya, “Terima kasih, Nyi Dwani.” “Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itu pun minta aku melakukan hal itu atasmu.” “Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah. Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada di bilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis, “Beristirahatlah dengan baik.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban di dada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata, “Apapun yang akan terjadi atas diriku, Ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku.” “Untuk selanjurnya berhati-hatilah mengambil langkah.” Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya, Ayah.” Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar di tubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah. Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia tidak dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk di serambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya. Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman. “Suranata,” desis Empu Wisanata. “Selamat sore, Ayah,” berkata salah seorang dari mereka. “Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?” “Mimpi buruk, Ayah.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa, setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia di sebelah pendapa. Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya. “Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata. Namun Empu itu pun bertanya kepada anaknya, “Siapakah kawanmu itu?” “Ia saudara seperguruanku, Ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi.” “Namanya?” “Wira Aran.” “Aku ayah Suranata, Ki Sanak.” “Aku tahu,” jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya, “Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya, sehingga ia akhirnya lari.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya, “Kau bercerita seperti itu, Suranata?” Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian ia pun menjawab, “Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku memang tidak senang kepada Ayah. Maksudku, cara Ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak Ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan Ayah saja” “Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku.” “Ya.” “Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan.” “Ya.” “Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu? Arti dari hidupmu? Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang? Atau apa?” Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri.” “Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauanmu itu merugikan orang lain?” “Aku tidak peduli.” “Jika demikian, bukan hanya aku ayahmu saja-lah yang akan melarangmu. Tetapi orang lain pun akan menentangmu.” “Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan Ayah.” “Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang?” “Ya.” “Kenapa kau sekarang datang kepadaku?” “Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak Ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan Ayah. Jika aku masih memanggil Ayah, bagiku Ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali.” “Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih? Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya, dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?” “Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.” Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali? Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat Angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur.” “Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini, atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya” “Dwani tidak dianggap tawanan di sini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu.” “Omong kosong!” geram Suranata, “Bahkan Ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya” “Kau kira aku akan membunuh Dwani?” “Aku datang untuk berbicara dengan Ayah tentang Dwani.” “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Empu Wisanata. “Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya di sini terancam. Bahkan Ayah sendiri telah berusaha membunuhnya. Serangan Ayah telah membuatnya luka parah.” “Dwani sudah menjadi berangsur baik.” “Tetapi lain kali Ayah tentu benar-benar akan membunuhnya” “Tidak. Suranata. Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapa pun juga. Ia adalah anakku.” “Dahulu, Ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak Ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya?” “Tidak. Dwani tetap anakku.” “Itu menurut Ayah.” “Juga menurut Dwani” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” “Jika Ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani, jika benar Dwani tidak mati.” “Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya.” “Aku ingin bertemu.” “Untuk apa?” “Jika Ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama Ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan tawanan di sini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi.” “Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas.” Wajah Suranata itu pun menjadi merah. Dengan nada tinggi Suranata itu pun berkata, “Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani.” “Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi.” “Apakah Ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya? Atau Ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa Ayah berbohong?” “Tidak.” “Jadi apa keberatan Ayah jika aku menemui Dwani?” “Dwani seorang tawanan di sini.” “Persetan,” geram Suranata, “aku akan menemuinya.” “Kau menantang aku? Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kau-lah yang telah membujuk Dwani.” “Tetapi aku bukan Dwani, Ayah.” “Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku?” Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku tidak sendiri.” “Kau kira aku sendiri di sini? Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang ada di rumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu di sini, maka kau akan benar-benar hancur.” “Persoalannya adalah persoalanku dengan Ayah.” “Dwani adalah tawanan di sini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya. Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan.” “Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut.” “Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut, sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang, termasuk kau?” Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya. Karena itu, maka Suranata itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada di tangan seorang yang hatinya mengeras seperti batu hitam, tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik.” “Katakan apa yang ingin kau katakan,” sahut Empu Wisanata. Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya. Karena itu, maka Suranata itu pun kemudian berkata, “Salamku buat Dwani.” Sebelum Suranata beringsut, saudara seperguruannya itu pun sempat berkata, “Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu.” Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar ke halaman. Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanata pun sudah tegak berdiri.. Sementara itu Suranata pun telah berdiri pula. Tetapi Ki Jayaraga pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dengan marah orang itu menggeram, “Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.” “Datanglah kepadaku pada kesempatan lain, jika kau merasa sudah waktunya untuk mati.” Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Justru pada saat yang demikian, Empu Wisanata itu pun berkata kepada anak laki-lakinya, “Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar.” Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran. Sementara itu, Empu Wisanata itu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Tolonglah Ki Jayaraga, amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia berbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu.” Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata, “Duduklah, Ki Sanak.” “Tidak,” jawab orang itu. “Duduklah,” ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu. Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itu pun kemudian telah duduk. Empu Wisanata pun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata bergetar ketika ayahnya berkata kepada orang-orang yang duduk di ruang dalam. “Ini adalah anakku laki-laki,” berkata Empu Wisanata, “tetapi ia sangat membenci ayahnya. Ia menganggap bahwa aku adalah orang lain sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini.” Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya, “Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa, “Ayahmu memang senang bergurau, Ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami.” Suranata menggeretakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di pendapa sebelumnya. Demikianlah, Empu Wisanata itu pun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring. Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi. Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata, “Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan.” “Berbaring sajalah Dwani,” desis ayahnya. Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya. “Dwani,” desis Suranata. Nyi Dwani tidak menyahut. “Bagaimana keadaanmu?” Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut, “Aku sudah baik, Kakang.” “Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu.” “Salahku sendiri, Kakang.” “Kau tidak bersalah, Dwani.” “Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasihat Ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga Ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain.” “Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apapun.” “Tidak, Kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah Ayah.” “Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita, jika Ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?” “Bukan Ayah yang tidak mengakuinya Kakang. Tetapi aku dan kau. Kita-lah yang telah mencoba untuk ingkar.” “Dwani,” potong Suranata, “apa yang telah terjadi di dalam dirimu? Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?” “Aku menyesalinya Kakang.” “Apa artinya itu?” “Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung, sehingga aku telah menemukan diriku sendiri.” “Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup.” “Aku mengerti Kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati.” “Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian.” “Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian yang kokoh, Kakang.” “Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik.” “Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi.” “Dwani,” sahut kakaknya, “jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang, itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena Ayah juga berpaling?” “Aku menyadari kebenaran sikap Ayah.” “Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.” “Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apapun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianatan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya. Tetapi jika aku tetap bersamanya, maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik, serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri.” “Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?” “Apakah ini terjadi tiba-tiba? Bukankah di masa kecil Kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?” Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya. Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula. Karena itu, maka Suranata pun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu. “Baiklah, Dwani,” berkata Suranata kemudian, “aku akan minta diri.” “Maaf Kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika Kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan.” Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. “Apakah kau sudah puas, Suranata?” bertanya Empu Wisanata. Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi ia pun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran. Sejenak kemudian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya. Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itu pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempat mengancam ayahnya. “Aku akan kembali Ayah,” berkata Suranata, “apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani. Ia harus dibebaskan dari tekanan batin. Sikap Ayah tentu sangat menyiksanya.” “Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata.” “Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu.” “Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu.” “Aku tidak gila, Ayah!” Suranata hampir berteriak, “Aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya.” “Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu.” “Aku mengasihinya, Ayah, lebih dari saudaraku yang lain.” “Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain.” Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian, “Apapun yang Ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah Ayah akan berdiri di sisi yang mana. Apakah Ayah akan memusuhi kami, atau Ayah akan berdiri bersama kami.” “Aku-lah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Di sisi mana kau akan berdiri.” Suranata menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila.” “Kau sudah gila, Suranata,” sahut ayahnya. “Tidak!” Suranata berteriak, “Ayah-lah yang sudah gila!” Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya, “Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu.” “Cukup!” bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit, dan berkata kepada saudara seperguruannya, “Marilah kita pergi!” Saudara seperguruan Suranata itu pun segera bangkit pula. Tanpa minta diri ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu. Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling. “Ayahmu memang gila,” geram saudara seperguruan Suranata, “jika saja ia bukan ayahmu.” “Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas,” berkata Suranata, “Ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku yakin, Ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani.” “Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya.” “Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang.” Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Ia pun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak. Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu. Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata Suranata juga bergabung dengan Saba Lintang.” Katanya selanjutnya, “Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya, Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya. “Apa yang tidak sesuai.?” “Maaf Empu. Semula aku kira Nyi Dwani itu seorang yang sedikit lebih tua. Namun yang penting, aku mengira bahwa Nyi Dwani adalah seorang perempuan yang sudah matang di dalam sikap dan pendirian. Ternyata Nyi Dwani masih belum menemukan dirinya.” “Ki Jayaraga benar,“ Empu Wisanata mengangguk-angguk, “Dwani memang belum menemukan dirinya. Tetapi mudah-mudahan pengalaman yang keras ini akan dapat membantu mematangkan jiwanya, sehingga Dwani akan merupakan satu pribadi yang masak.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mungkin justru karena itu, beberapa orang mendukungnya untuk bersama-sama Ki Saba Lintang memegang pimpinan dalam perguruan yang akan disusun kembali itu.” “Kenapa?” “Dengan sikapnya yang masih belum masak itu, maka Nyi Dwani akan dapat dikendalikan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka. Bahkan aku juga menjadi curiga bahwa Ki Saba Lintang juga masih mentah, sehingga ia pun tidak mampu menentukan sikap sendiri.” “Ya aku tahu Saba Lintang adalah orang yang licik. Ia akan dapat menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu maka ia tidak segan-segan menculik Rara Wulan.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku adalah ayah yang malang. Tetapi aku tidak dapat hanya menyalahkan anak-anakku. Mungkin aku memang meletakkan dasar yang salah pada saat anak-anakku mulai tumbuh dan berkembang. Atau bahkan sebaliknya, aku sama sekali tidak mempedulikan anak-anakku. Aku terlalu tekun menempa diri. Aku berhasil menguasai ilmu yang aku inginkan sebagaimana aku miliki sekarang. Tetapi aku justru tidak berhasil memiliki hati anak-anakku. Satu-satu mereka terlepas. Aku hanya berharap mudah-mudahan Dwani masih dapat aku kejar dan aku tangkap kembali.” Ki Jayaraga memandang wajah Empu Wisanata yang menjadi. sayu. “Sudahlah, marilah duduk di pringgitan.” Keduanya kemudian naik ke pendapa. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil keluar pula dari ruang dalam dan duduk bersama mereka di pringgitan. “Aku mendengar derap kaki kuda mereka,” desis Nyi Wijil, “nampaknya mereka tidak turun dari punggung kudanya hingga di halaman rumah ini. Bukankah ketika mereka datang, mereka tidak mau turun dari kudanya sampai ke tangga pendapanya?” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku-lah yang harus minta maaf, karena mereka adalah tamuku.” “Bukan itu yang aku maksud, Empu. Tetapi sudah demikian jauhnya kedua orang itu meninggalkan adat kebiasaan kita. Tentu bukan Empu yang mengajarinya. Tetapi sifat seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan rumah dan keluarganya, lingkungan perguruan dan padepokannya, serta lingkungan pergaulannya.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Aku sependapat Nyi Wijil. Anakku itu sudah tidak lagi mau mendengar kata-kataku. Bahkan saudara seperguruannya itu telah menghina aku pula.” “Anak Empu itu sudah direnggut oleh lingkungan pergaulannya dari tangan Empu.” “Dan aku tidak mampu mempertahankannya,“ Empu Wisanata itu menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi semakin rendah, “Dwani-lah kini yang tersisa.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tidak membicarakan kedua orang itu lebih jauh. Mereka tahu bahwa hati Empu Wisanata telah terluka karena tingkah laku anak-anaknya. Namun ketika seisi rumah itu kemudian duduk di ruang dalam di saat makan malam, mereka telah membicarakan kehadiran kedua orang itu lagi. Agung Sedayu yang ada di antara mereka mendengarkan dengan seksama cerita kehadiran anak Empu Wisanata itu. “Agaknya anak Empu Wisanata itu bersungguh-sungguh. Tetapi Empu Wisanata juga harus memikirkan keselamatan Nyi Dwani. Jika Nyi Dwani itu sudah memantapkan tekadnya dan dengan sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama lagi dengan Ki Saba Lintang dan saudara laki-lakinya itu, maka nyawanya terancam. Dia mengetahui tentang gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, meskipun sampai sekarang Nyi Dwani masih belum banyak bercerita.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Suranata akan sampai hati melakukannya, sebagaimana ia memperlakukan aku. Ia dapat menganggap aku orang lain. Tentu ia dapat pula menganggap Dwani orang lain yang harus dimusnahkan.” “Satu tugas khusus bagi Empu Wisanata.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak saja ditinggalkan oleh anak-anakku. Tetapi anak-anakku itu akan saling bermusuhan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Ki Jayaraga yang juga merasa gagal mengasuh murid-muridnya. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang memenuhi harapannya. Karena itulah ia telah memungut Glagah Putih menjadi muridnya. Ki Jayaraga sengaja mengambil murid seseorang yang pribadinya sudah terbentuk. Dengan demikian maka Ki Jayaraga dapat mempercayainya, bahwa muridnya yang baru itu tidak akan menempuh jalan yang sesat. Justru karena itu, Ki Jayaraga telah mewariskan puncak ilmunya kepada Glagah Putih itu. Untuk beberapa lama mereka masih berbincang tentang Suranata dan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Gerakan yang nampaknya mempunyai sayap yang sangat luas. “Tetapi apakah Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Saba Lintang adalah benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dalam gerakan itu?” bertanya Agung Sedayu. “Menurut gelar lahiriahnya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi aku tidak yakin, apakah tidak ada orang yang mempunyai pengaruh lebih besar dari Saba Lintang. Bahkan orang yang mempunyai pengaruh sangat besar atas Saba Lintang, sehingga Saba Lintang sendiri tidak lebih dari sekeping wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.” “Bukankah untuk beberapa lama Empu bersama dengan Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang?” “Ya,” jawab Empu Wisanata, “tetapi aku adalah orang yang seakan-akan berdiri di luar lingkaran.” “Meskipun demikian, Empu tentu dapat melihat serba sedikit.” “Ya. Justru karena yang sedikit itulah aku dapat mengatakan, bahwa Saba Lintang agaknya tidak lebih dari sekeping wayang kulit yang digerakkan oleh seorang dalang. Di dalam gerakan itu, banyak terdapat orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari Saba Lintang. Tetapi karena Saba Lintang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati, maka orang-orang itu telah menempatkan Saba Lintang pada pimpinan tertinggi. Apalagi jika Saba Lintang mampu mendapatkan tongkat yang satu lagi. Maka berdua dengan Dwani, ia akan diakui sebagai pimpinan tertinggi mereka.” “Apakah Ki Saba Lintang sendiri tidak menyadari, bahwa ia pada saatnya akan menjadi semacam benda permainan dari orang-orang berilmu tinggi itu?” “Tetapi Saba Lintang adalah orang yang cerdik, licik dan menganggap semua cara dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa pada saatnya dirinya akan terinjak. Tetapi sejak sekarang ia sudah mempersiapkan kemungkinan adanya pertentangan yang setiap saat akan dapat membakar hubungan yang seorang dengan yang lain. Jika satu demi satu mereka bertengkar dan saling membunuh di antara orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu, maka akhirnya ia sendiri-lah yang akan tinggal.” “Mengadu domba?” “Itu adalah rencana yang dipersiapkan. Aku tidak tahu apakah ia akan berhasil atau tidak.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata yang dihadapinya adalah suatu gerakan yang luas, yang mempunyai banyak kepentingan yang untuk sementara dapat dipersatukan. Bagi Tanah Perdikan Menoreh, mempertahankan diri dari serangan kekuatan dari luar lingkungannya bukan baru akan dihadapi untuk yang pertama kali. Bahkan gejolak dari dalam yang membakar Tanah Perdikan itu pun pernah terjadi. Selama ini Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mengatasi segala macam kesulitan yang timbul dari luar maupun dari dalam itu. Meskipun demikian, bahaya yang dihadapi Tanah Perdikan pada waktu itu adalah bahaya yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka tanah perdikan pun harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Empu Wisanata pun tidak lagi berani terlalu lama meninggalkan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. Bahkan Nyi Dwani sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan duduk di ruang dalam. Dari hari ke hari, Empu Wisanata tidak henti-hentinya memberi petunjuk-petunjuk kepada anak perempuannya yang masih dapat diharapkannya. Dengan terus terang Empu Wisanata itu pun berkata, “Kau adalah satu-satunya anak yang masih dapat aku harapkan, Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. “Kakakmu Suranata, sama sekali sudah tidak dapat aku harapkan lagi. Ia benar-benar sudah menganggap aku orang lain. Selama ia masih dapat mengharap kau bersedia bekerja bersamanya, maka ia masih dapat mengatakan bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Tetapi jika kau tidak lagi bersedia memenuhi keinginannya, maka persoalannya akan bergeser. Kau tidak akan berarti lagi baginya. Mungkin ia tidak lagi memedulikanmu. Tetapi mungkin ia dapat berbuat lebih buruk dari itu.” “Aku mengerti Ayah,” sahut Nyi Dwani. “Karena itu, kau harus berhati-hati, Dwani. Satu ketika Rara Wulan telah mereka culik. Pada saat lain, kakakmu dan Ki Saba Lintang akan dapat menjemputmu dengan paksa.” “Ya, Ayah.” “Karena itu, kita harus menjadi semakin berhati-hati. Kita adalah orang-orang khusus di rumah ini. Sementara itu, kita pun selalu dibidik oleh para pengikut Saba Lintang, dan bahkan oleh kakakmu sendiri. Aku tidak tahu, apakah kakak perempuanmu juga berada di lingkungan para pengikut Saba Lintang atau tidak. Jika ia ada di antara mereka, maka pada satu saat ia tentu juga akan datang menemui aku dan kau.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Terbayang wajah kakak perempuannya, yang sejak kecil seakan-akan memusuhinya. Jika keduanya mendapat sepotong makanan yang sama, maka kakak perempuannya itu selalu minta sedikit dari bagiannya itu. Jika ia keberatan, maka kakak perempuannya itu mencubitnya. Jika mereka berdua bermain-main, maka Dwani tidak lebih dari seorang budak yang harus melayani kakak perempuannya itu. Dwani sendiri tidak sempat ikut bermain. Tetapi menurut pengetahuan Nyi Dwani, kakak perempuannya tidak bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi itu belum menjamin bahwa kakak perempuannya memang tidak melibatkan diri. Sebagaimana kakak laki-lakinya, ternyata Nyi Dwani juga tidak mengetahui bahwa ia berada di dalam lingkungan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pula. Bahkan tidak mustahil bahwa Suranata akan menghubungi kakak perempuan Nyi Dwani untuk membujuknya. Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Bukan karena ia menjadi ngeri terhadap ancaman yang setiap saat seperti banjir bandang melanda Tanah Perdikan itu. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa kehadirannya di Tanah Perdikan itu merupakan salah satu sebab dari kemelut yang terjadi di Tanah Perdikan itu. “Bukan karena tongkat baja putihmu,” desis Agung Sedayu setiap kali. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat melepaskan perasaannya itu. ”Mereka memburu tongkat baja itu, Kakang.” “Ada atau tidak ada, mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana Macan Kepatihan menyerang Sangkal Putung waktu itu. Soalnya bukan tongkat baja putih itu. Tetapi tanah ini akan menjadi landasan yang baik bagi mereka.” Sekar Mirah memang mencoba untuk mengerti. Tetapi bayangan-bayangan buram tentang tongkat baja putihnya itu sulit untuk disisihkannya. “Kakang, apakah tongkat itu sangat berharga untuk dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa sekian banyak orang?” “Tongkat itu bagi mereka adalah lambang kepemimpinan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi bagiku tongkat itu tidak lebih dari senjata biasa. Senjata itu memang begitu akrab dengan ilmuku. Tetapi menurut pendapatku, aku akan dapat mempergunakan senjata lain yang bagiku akan mempunyai nilai yang sama dengan tongkat baja putih itu. Karena menurut pendapatku, kemampuanku sama sekali tidak tergantung pada senjata itu.” “Aku mengerti, Mirah. Tetapi senjata itu tidak boleh lepas dari tanganmu. Bukan karena tuahnya. Tetapi segala-galanya tongkat itu sudah mapan dan sangat sesuai dengan ilmumu. Kau mengenal tongkat itu seperti kau mengenali anggota tubuhmu sendiri. Panjangnya, beratnya, besarnya sudah mapan. Tidak ada senjata yang lebih sesuai dari tongkat baja itu bagimu, Mirah.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus mengakui, bahwa tongkat itu rasa-rasanya sudah seperti bagian dari tangannya sebagaimana jari-jarinya. “Lebih dari itu Mirah, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai tongkat baja putih itu, maka ia akan menjadi semakin kokoh. Itu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya,” berkata Agung Sedayu selanjutnya. Sekar Mirah itu mengangguk-angguk. “Kecuali jika ada jaminan bahwa setelah tongkat baja putih itu berada di tangannya ia tidak akan mengancam Tanah Perdikan ini, kita baru dapat mempertimbangkannya. Sekali lagi, mempertimbangkannya. Sedangkan keputusannya pun ada beberapa kemungkinan yang satu sama lain dapat bertentangan.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Baiklah Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “lupakan beban itu. Kau tidak perlu memikulnya, karena kau memang tidak seharusnya mendapat beban itu.” “Aku akan mencoba, Kakang.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak hanya harus mencoba. Tetapi kau harus melakukannya.” “Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang prajurit.” Agung Sedayu tertawa sambil bertanya, “Kenapa dengan seorang prajurit?” Sekar Mirah tidak menjawab.. Tetapi ia pun tertawa pula. Dalam pada itu, semua peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu selalu dilaporkan langsung kepada Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu setiap kali pergi menghadap sebagaimana diperintahkan oleh Ki Patih sendiri. Jika bukan Agung Sedayu yang memberikan laporan, maka Ki Patih-lah yang telah memberikan beberapa keterangan berdasarkan laporan para petugas sandi. “Dendam yang masih tersimpan di Jipang, Demak dan Pati seakan-akan telah terungkit dalam waktu yang bersamaan,” berkata Ki Patih. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran bahwa gerakan itu adalah gerakan yang besar. Namun ia pun menjadi semakin yakin, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mampu menguasai gerak itu sepenuhnya. Meskipun demikian, Ki Saba Lintang itu memiliki bekal kecerdikan, tetapi juga kelicikan. Agaknya ia sudah mempunyai rencana, apa yang akan dilakukannya setelah gerombolan itu berhasil membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru setelah selangkah lebih maju lagi. Ketika pada suatu kali Agung Sedayu menghadap Ki Patih, maka Ki Patih itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tidak sejak semula mempunyai rencana yang demikian besar. Agaknya niat Ki Saba Lintang memang hanya ingin menyusun kembali sebuah perguruan yang beralaskan pecahan perguruan Kedung Jati. Ki Saba Lintang itu semula tidak bermimpi untuk sampai ke Mataram, meskipun ia tentu sudah mempersiapkan perlawanan jika rencananya akan membentur kekuasaan Mataram. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, beberapa unsur yang lain telah bergabung dengan mengemban niat masing-masing, sehingga akhirnya gerakan itu menjadi luas. Namun warnanya tidak lagi senada. Meskipun demikian, mula-mula mereka akan dapat bekerja bersama-sama.” Agung Sedayu mengangguk mengiakan. “Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa para petugas sandi yang tersebar di sekitar Pegunungan Kendeng melihat gerak kelompok besar dan kecil ke arah barat. Mereka agaknya akan melingkari Gunung Merbabu. Mereka agaknya akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah barat dari utara. Karena itu, awasi arah itu lebih cermat dari arah yang lain.” “Kami akan melakukannya, Ki Patih.” “Kelompok-kelompok yang bergerak ke barat dari Pegunungan Kendeng dan sekitarnya itu, akan merupakan kekuatan yang sangat besar. Di antara mereka tentu orang-orang yang menyimpan dendam di dalam hati. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan gerak jamannya yang berubah.” “Ya, Ki Patih.” “Tetapi di atas mereka adalah orang-orang yang tamak, yang mempunyai nafsu yang sangat besar untuk mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.” Masih banyak lagi pesan yang diberikan kepada Agung Sedayu untuk menghadapi gerakan yang semakin lama menjadi semakin besar itu. Sementara itu kecurigaan terhadap istri Agung Sedayu telah menyusut, dan bahkan telah larut. Meskipun Nyi Lurah Agung Sedayu itu memiliki. satu dari sepasang lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati, namun nampaknya Nyi Lurah itu sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkannya lewat jalur yang tidak sewajarnya. Ketika Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, maka ia pun telah menugaskan beberapa orang prajurit-prajurit pilihan untuk melakukan tugas sandi, mengamati lingkungan di sebelah barat dan utara Tanah Perdikan Menoreh. “Kau dapat melakukan tugas kalian di luar Tanah Perdikan. Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “kita menghadapi kekuatan yang besar dan sebarannya luas sekali. Sedangkan sebagian dari mereka diduga terdiri dari bekas-bekas prajurit Pati, Demak dan Jipang, yang kecewa terhadap perkembangan keadaan sejak gugurnya Arya Penangsang, tersingkirnya pemerintahan Demak di Pajang, serta pecahnya Kadipaten Pati.” Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyebar. Mereka bergerak ke sebelah barat pegunungan, dan yang lain bergerak ke utara. Sementara itu, persiapan di Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi semakin matang. Para pengawal telah memanfaatkan waktu yang ada untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan hampir setiap laki-laki di Tanah Perdikan yang masih merasa mampu untuk bertempur, telah mempersiapkan diri pula. Dalam pada itu, para penghuni Tanah Perdikan itu telah memperkokoh dinding-dinding padukuhan serta pintu-pintu gerbang. Kentongan pun tergantung di mana-mana. Setiap padukuhan mempunyai pertanda isyaratnya masing-masing, sehingga jika terdengar suara kentongan, akan segera diketahui sumbernya. Senjata yang dipersiapkan bukan hanya pedang dan tombak. Tentu juga busur, anak panah dan lembing. Beberapa hari kemudian, Agung Sedayu pun telah menerima laporan dari salah seorang prajuritnya yang ditugaskannya mengamati keadaan di sebelah barat pegunungan. “Kami melihat ada gerakan di daerah Pucang Kerep. Nampaknya ada gejolak di permukaan. Meskipun masih belum jelas, tetapi ada kekuatan yang tersusun di daerah itu. Bahkan sebagian dari mereka berhasil menyusup di antara orang-orang yang menghuni daerah itu.” “Maksudmu?” “Dengan uang dan harapan-harapan, mereka dapat tinggal di rumah-rumah penduduk. Agaknya mereka masih sedang bersiap-siap untuk menyusun satu kekuatan yang akan bergerak ke timur, melintasi pegunungan dan memasuki Tanah Perdikan.” “Mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mereka mengambil ancang-ancang di tempat yang cukup jauh. Tetapi justru karena itu, arus serangan mereka akan menjadi sangat berbahaya.” “Kekuatan yang ada di Pucang Kerep itu nampaknya memang berbahaya, Ki Lurah,” petugas sandi itu menjelaskan. “Baiklah. Awasi mereka. Kita masih menunggu laporan dari utara.” Berbeda dengan segerombolan orang yang berada di sisi barat, maka segerombolan orang yang berada di sisi utara telah membuat perkemahan di hutan kecil di tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Tetapi menurut laporan petugas sandi, gerombolan yang ada di sebelah utara itu tidak kalah berbahayanya. Mereka seolah-olah sedang menimbun kekuatan air di bendungan. Jika bendungan itu pecah, maka arus airnya akan menyapu apa saja yang menghalanginya. Selain laporan dari petugas sandi tentang kekuatan yang sedang disusun di Pucang Kerep, ternyata di Krendetan juga terdapat sekelompok orang, yang nampaknya juga bagian dari gerombolan yang sama dengan gerombolan yang berada di Pucang Kerep. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “para peronda di perbatasan agar menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak ke dalam perangkap gerombolan itu.” Dengan demikian, Tanah Perdikan itu pun telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Bahkan Ki Patih telah memerintahkan sebagian prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk bergabung dengan pasukan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Agung Sedayu. Demikianlah, dari hari ke hari kekuatan yang bertimbun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di hutan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga menjadi semakin besar jumlahnya. Laporan yang disampaikan ke Mataram pun menjadi semakin sering, sehingga Ki Patih Mandaraka tidak ketinggalan dengan perkembangan keadaan. Dalam gejolak yang semakin panas itu, Ki Tumenggung Wirayuda telah datang ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu. “Dalam tiga hari ini akan datang berturut-turut lima belas orang prajurit sandi terpilih. Mereka akan menyebar di sekitar Tanah Perdikan ini untuk menilai kekuatan lawan,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda. “Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu. “Aku sendiri akan berada di sini.” Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari, lima belas orang prajurit dari pasukan sandi telah berada di Tanah Perdikan. Mereka memperkuat pasukan sandi yang sudah ada di Tanah Perdikan. Bahkan mereka adalah prajurit dari pasukan sandi yang dilatih secara khusus untuk menjalankan tugasnya. Dari para petugas sandi, baik yang berasal dari para pengawal Tanah Perdikan, dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, maupun para petugas yang datang kemudian setelah Ki Tumenggung Wirayuda berada di Tanah Perdikan, telah memberikan laporan bahwa persiapan dari gerombolan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga, telah meningkatkan kesiagaan mereka. Agaknya tidak lama lagi mereka akan segera menyerang. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi gelisah mendengar kemungkinan itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas diri mereka. Jika orang-orang Tanah Perdikan itu kurang ikhlas menerima kehadiran mereka, maka nasib mereka akan menjadi kurang baik. Sebaliknya, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai Tanah Perdikan, nasib mereka pun akan tidak menentu. Dalam kegelisahan itu, ternyata yang dicemaskan Empu Wisanata itu pun terjadi. Menjelang tengah hari, dua ekor kuda berhenti di depan regol halaman rumah Agung Sedayu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan turun dari kuda mereka dan menuntun kuda mereka memasuki halaman. Sukra berdiri di pintu seketheng melihat keadaan kedua orang itu. Dengan tergesa-gesa ia pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari?” Perempuan yang datang itu dengan ramah menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Empu Wisanata. Apakah Empu ada di rumah?” “Ada. Marilah. Silakan naik.” “Terima kasih,” jawab perempuan itu.. Sukra pun kemudian telah masuk kembali melalui butulan, untuk menemui Empu Wisanata yang duduk di serambi bersama Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. “Ada tamu, Empu.” “Siapa, Sukra?” “Aku belum mengenal mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang perempuan berpakaian rapi dan berhias seperti akan pergi menghadiri upacara pernikahan. Yang laki-laki agaknya pernah datang kemari, tetapi entahlah.” Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Empu Wisanata itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani, “Marilah. Kita temui mereka.” Keempat orang itu pun kemudian telah keluar lewat pintu pringgitan untuk menemui tamu yang duduk di pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun terkejut. Laki-laki dan perempuan itu adalah Ki Saba Lintang sendiri, serta Nyi Yatni. Dalam pada itu, dengan serta-merta Nyi Yatni itu pun langsung berjongkok di depan Empu Wisanata sambil memeluk kakinya. Dengan sendat Nyi Yatni itu berdesis, “Ampuni aku, Ayah.” Jantung Empu Wisanata rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Diangkatnya bahu anak perempuannya agar Nyi Yatni itu berdiri. “Kenapa kau minta ampun kepada ayahmu?” bertanya Empu Wisanata. “Aku telah meninggalkan Ayah begitu saja.” “Kenapa kau meninggalkan aku, Yatni?” bertanya Empu Wisanata pula. “Hatiku gelap pada waktu itu, Ayah.” “Sekarang kau mendapat terang di hatimu?” “Ya. Aku mohon Ayah mengampuniku.” “Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandangnya Ki Saba Lintang yang berdiri tegak seperti tiang-tiang pendapa itu. Namun kemudian meskipun dengan bimbang dan ragu Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku ampuni kau, Yatni.” “Terima kasih Ayah. Terima kasih.” Nyi Yatni pun kemudian berlari mendapatkan adiknya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berkata, “Senang sekali melihat keadaanmu, Dwani. Agaknya kau sudah sembuh.” “Ya, Mbokayu,” jawab Nyi Dwani. Nyi Yatni pun kemudian melepaskan Nyi Dwani. Ditatapnya perempuan itu sambil memegangi kedua lengannya. Katanya, “Syukurlah, Dwani. Jika kau sudah sembuh, maka kita akan dapat pergi bersama-sama. Bahkan bersama-sama dengan Ayah.” “Pergi ke mana, Mbokayu?” bertanya Nyi Dwani. “Terserah kepada Ayah. Aku sudah bertekad untuk kembali kepada Ayah.” Tetapi Empu Wisanata pun berkata, “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Yatni.” Nyi Yatni tersenyum. Katanya, “Ayah memang suka bergurau sejak mudanya. Bukankah kau ingat itu Dwani?” “Tetapi kali ini aku sama sekali tidak bergurau, Yatni. Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Biarlah Ki Saba Lintang mendengarnya Aku sudah tidak lagi ingin bergabung dengan Ki Saba Lintang. Demikian pula Dwani. Terserah kepadamu dan kepada Suranata. Bukankah kalian sudah dapat mengambil sikap sendiri?” “Ah, Ayah. Aku datang untuk mohon maaf.” Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya itu. Wajahnya nampak cerah. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. “Duduklah,” berkata Empu Wisanata kemudian. Nyi Yatni pun kemudian berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ditariknya tangan Ki Saba Lintang untuk duduk bersamanya. Dengan manja Nyi Yatni itu pun berkata, “Marilah duduk Kakang.” Ki Saba Lintang tersenyum. Ia pun kemudian duduk di sebelah Nyi Yatni. “Ayah,” berkata Nyi Yatni kemudian, “aku telah mendengar bahwa Ayah dan Dwani telah bergabung dengan Kakang Saba Lintang. Demikian pula Kakang Suranata. Karena itu, maka aku datang menemui Ayah. Aku menyesali tingkah laku-ku selama ini karena aku telah meninggalkan Ayah. Ayah tentu selalu cemas dan bahkan mungkin bersedih. Nah, karena itulah, maka sekarang aku kembali kepada Ayah, dan ingin bersama-sama Ayah berada di dalam satu perjuangan, dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kakang Saba Lintang.” “Yatni, jangan mengigau seperti itu. Kau tahu di mana aku sekarang ini berada. Kau tentu sudah tahu pula, di mana aku sekarang berdiri.” Sambil memandang Ki Wijil dan Nyi Wijil, Nyi Yatni itu pun berkata, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak akan berkeberatan untuk membiarkan Ayah dan Dwani pergi?” Ki Wijil itu pun menjawab, “Tentu tidak Ngger. Jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan pergi, aku sama sekali tidak merasa berkeberatan.” Jawaban itu terdengar aneh di telinga Nyi Yatni. Ia mengira bahwa jawaban yang akan didengarnya adalah berlawanan dengan jawaban itu. Namun Nyi Yatni itu pun berkata, “Nah, bukankah Ayah dapat pergi ke mana saja Ayah inginkan? Ayah di sini bukan tawanan. Bukan pula orang hukuman.” Empu Wisanata justru tersenyum mendengar jawaban Ki Wijil. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak seorang pun akan berkeberatan jika aku pergi. Tetapi aku memang tidak ingin pergi. Aku ingin tetap tinggal di sini, karena aku dan Dwani kerasan tinggal di sini.” Kening Nyi Yatni berkerut. Tetapi kemudian senyumnya nampak lagi di bibirnya, “Ayah. Jika Ayah dan Dwani bersedia pergi bersama kami, maka masa depan kita sekeluarga akan menjadi cerah. Aku akan menemui Kakang Suranata dan memanggilnya untuk menyatu kembali. Keluarga kita akan utuh, sementara itu kita masing-masing akan mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan kesatuan Kakang Saba Lintang.” Kemudian sambil berpaling kepada Ki Saba Lintang, Nyi Yatni itu berkata sambil tersenyum, “Bukankah begitu, Kakang? Kenapa kau hanya diam saja? Bantulah aku meyakinkan Ayah dan Dwani.” Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sangat mengharap kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani.” “Nah, Ayah dengar? Kita akan dapat menjadi pemimpin yang baik di dalam kesatuan Kakang Saba Lintang. Apalagi jika Dwani berhasil mendapatkan tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih yang sudah dimiliki Kakang Saba Lintang, yang akan diberikan kepadaku. Aku dan Kakang Saba Lintang akan menjadi pasangan yang paling serasi untuk memimpin kesatuan yang besar, yang kelak akan menggulung Tanah Perdikan ini.” Wajah Nyi Dwani menjadi merah. Jantungnya serasa disuluti dengan api. Namun Empu Wisanata pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang tidak akan dapat berkata apa-apa di sini. Aku tahu betapa liciknya orang yang memiliki tongkat baja putih yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung jati.” “Ayah jangan berprasangka buruk. Kakang Saba Lintang yakin bahwa aku dapat mendampinginya. Apalagi jika tongkat baja putih yang satu lagi sudah ada di tanganku.” “Jadi kau ingin Dwani mengambil tongkat itu untukmu?” “Ya. Tetapi Dwani sudah gagal. Bahkan Ayah sampai hati untuk berusaha membunuhnya. Namun ternyata nyawa Dwani memang liat.” “Cukup!” bentak Nyi Dwani, “Aku muak mendengar dan melihat permainan yang kotor ini.” “Dwani. Kenapa kau?” “Aku tidak mau mendengar bualanmu lagi Mbokayu. Pergilah bersama Kakang Saba Lintang, sebelum aku memukul isyarat. Dengan isyarat itu, kalian tidak akan dapat lolos dari tangan para pengawal Tanah Perdikan ini.” “Aku yakin bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berbuat selicik itu,” berkata Nyi Yatni, “kami hanya berdua. Kami tidak datang menyerang Tanah Perdikan ini. Kami justru datang untuk menemui ayah dan kau, Dwani.” “Pergilah! Semakin cepat semakin baik.” “Kenapa aku harus segera pergi? Sedangkan kedua orang tua suami istri ini, yang agaknya termasuk orang penting di Tanah Perdikan ini saja tidak mengusirku.” “Permainan kalian sangat kasar. Kalian tidak berhasil menyakiti hatiku. Tetapi kalian membuat aku muak.” “Dwani, apa yang terjadi?” Namun Ki Wijil-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kami memang tidak mengusir kalian. Kami jarang sekali mendapat kesempatan melihat tontonan yang begitu menarik. Permainan yang sulit dibedakan dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.” Wajah Nyi Yatni menjadi tegang. Katanya, “Kami tidak sedang bermain. Kami juga bukan tontonan.” “Jangan marah. Mungkin kau menganggap dirimu bukan tontonan. Tetapi ternyata Ki Saba Lintang adalah seorang pemain yang sangat baik dalam satu pertunjukan yang sangat jenaka.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apa yang kau maksudkan?” Nyi Wijil dan Empu Wisanata yang tanggap akan maksud Ki Wijil pun tertawa pula. Hanya wajah Nyi Dwani sajalah yang masih tetap tegang. “Permainanmu sangat meyakinkan,” berkata Ki Wijil. “Aku tidak senang bermain-main,” sahut Ki Saba Lintang. “Jika demikian, tontonan ini semakin mengasyikkan,” Ki Wijil tertawa semakin keras, “jika kalian tidak sedang bermain, maka kalian adalah badut-badut yang sesungguhnya.” “Cukup!” teriak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Saba Lintang, “Kau biarkan orang tua ini mengigau seperti itu?” “Ya,” sahut Empu Wisanata, “Ki Saba Lintang harus membiarkannya berbicara apa saja. Ki Saba Lintang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menghentikannya.” “Kakang!” jantung Ki Yatni bagaikan akan meledak. “Biarkan mulut yang sudah rusak itu berbunyi apa saja,” geram Ki Saba Lintang, “yang penting bagimu Nyi Yatni, usahakan agar keluargamu utuh kembali.” “Satu lawakan yang menarik,” sahut Empu Wisanata. “Ayah,” potong Nyi Yatni. “Yatni, jangan berpura-pura. Aku minta segera tinggalkan tempat ini. Kau tidak akan berhasil untuk mengajak kami. Jika cara ini ditempuh oleh Ki Saba Lintang untuk menyakiti hati Dwani, ia pun tidak berhasil. Aku tidak tahu, apakah Yatni mengerti atau tidak bahwa ia sudah menjadi alat Ki Saba Lintang.” “Alat apa?” “Sudah. Jangan hiraukan. Marilah kita tinggalkan sarang iblis ini. Semakin lama kita di sini, maka semakin kabur penalaran kita atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.” “Kita tidak berjantung tanah liat, Kakang.” Tetapi Ki Saba Lintang itu pun segera bangkit sambil berkata, “Kita berhadapan dengan orang-orang licik yang pandai memutar balikkan keadaan. Nyi Yatni, kita memang tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa membiarkan Empu Wisanata dan adikmu Nyi Dwani ikut lumat bersama Tanah Perdikan ini, sebagaimana dikatakan oleh Suranata.” Nyi Yatni pun kemudian bangkit pula. Demikian pula Empu Wisanata, Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani. “Jadi Ayah menolak untuk memulihkan keutuhan keluarga kita?” bertanya Nyi Yatni kemudian. “Tentu tidak, Yatni. Tetapi aku harus memperhitungkan maksud yang sesungguhnya dari niatmu untuk memulihkan keutuhan keluarga kita itu. Aku pun harus memperhitungkan, siapakah yang telah menggerakkan kau datang kepadaku.” “Jadi apakah artinya kesediaan Ayah memaafkan aku?” “Aku telah memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan Yatni. Aku tidak pernah mendendammu. Tetapi sudah tentu aku pun tidak akan dapat kau bawa menerjuni lubang sumur berapi.” “Baik. Baik Ayah. Jika Ayah kokoh pada sikap dan pendirian Ayah itu, apa boleh buat. Agaknya Dwani pun telah terpengaruh pula oleh sikap Ayah, sehingga ia telah meninggalkan kesetiaannya kepada perguruan Kedung Jati, meskipun Ayah pernah mencoba untuk membunuhnya.” “Cukup, Mbokayu!” sahut Nyi Dwani, “Aku masih dapat berpikir waras. Karena itu, sebaiknya Mbokayu segera meninggalkan tempat ini” Nyi Yatni tertawa pendek. Katanya, “Kau bagiku adalah seorang adik kebanggaan, Dwani.” “Terima kasih Mbokayu. Tetapi kita adalah saudara kandung yang saling mengenal sejak masa kanak-kanak kita. Mbokayu mengenal aku, sifat-sifat dan watakku, sedangkan aku mengenal Mbokayu dengan sifat-sifat dan watak Mbokayu.” Wajah Nyi Yatni menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Saba Lintang telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Kita jangan terlalu lama di sini. Jika semula aku yakin bahwa tidak akan ada kelicikan di Tanah Perdikan ini, akhirnya aku menjadi ragu-ragu.” “Baiklah,” sahut Nyi Yatni. Lalu ia pun berkata kepada ayahnya, “Ayah, Aku mohon diri. Terima kasih bahwa Ayah telah memaafkan segala kesalahanku. Bagaimanapun juga aku masih ingin membalas segala kebaikan budi Ayah, sehingga aku ingin pada suatu ketika aku dapat membahagiakan Ayah, serta menempatkan Dwani di jenjang kedudukan yang terhormat sesuai dengan kemampuannya yang tinggi.” “Terima kasih, Mbokayu,” sahut Nyi Dwani. “Aku mohon diri, Ayah.” “Hati-hati-lah menempuh jalan kehidupan, Yatni,” desis Empu Wisanata. Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga masih terasa nada bicara seorang ayah yang mencemaskan keadaan anaknya. Namun Nyi Yatni tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Ki Saba Lintang pun kemudian menariknya. Tidak lagi memegangi pergelangan tangannya, tetapi justru memegangi pinggangnya. Demikian mereka turun dari pendapa, Nyi Yatni pun justru seakan-akan melekat di tubuh Ki Saba Lintang, dan berjalan bersama-sama menuju ke kuda mereka. Darah Nyi Dwani rasa-rasanya memang telah mendidih. Terbayang di masa kanak-kanak mereka. Permainan apapun yang dipegangnya, jika kakak perempuannya itu mengingini, selalu dirampasnya. Yatni sama sekali tidak peduli, apakah Dwani akan menangis atau tidak. Hal itu seakan-akan kini telah terulang. Nyi Yatni itu telah merampas Ki Saba Lintang dari sampingnya. Namun terdengar Empu Wisanata itu berbisik di telinganya, “Jangan mengulangi kesalahan yang sama karena perasaan cemburumu itu.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kendali sehingga ia telah berusaha membebaskan Rara Wulan, karena jantungnya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Sementara itu ayahnya berbisik pula, “Kau sekarang tidak membutuhkan lagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani itu mengangguk kecil. Sedangkan Empu Wisanata berkata selanjurnya, “Kasihan Yatni. Ia tidak lebih dari alat bagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi bagaimanapun juga, jantungnya terasa bergetar semakin cepat ketika ia melihat bagaimana Ki Saba Lintang membantu Nyi Yatni naik ke atas punggung kudanya, meskipun sebenarnya hal itu dapat dilakukannya sendiri. Demikianlah, sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah keluar dari regol halaman, sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani berdiri saja di tangga pendapa. Namun di regol Nyi Yatni itu masih sempat melambaikan tangannya sambil berkata, “Ingat Ayah, pada suatu saat aku akan membahagiakan Ayah.” Empu Wisanata tidak menjawab. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda yang berlari semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran mereka. Dalam pada itu, Nyi Dwani pun segera berlari melintasi pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Dengan serta-merta Nyi Dwani telah menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringannya. Ketika Empu Wisanata memasuki bilik itu, dilihatnya Nyi Dwani menangis terisak-isak. Sambil duduk di bibir pembaringan, Empu Wisanata itu pun bertanya, “Kenapa kau menangis, Dwani?” Nyi Dwani itu pun bangkit dan duduk di sisi ayahnya. Dengan sendat Dwani itu pun menjawab, “Aku merasa kesal sekali Ayah.” “Kau merasa cemburu?” “Tidak,” jawab Nyi Dwani tegas. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengurangi beban yang menggelantung di hatiku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tidak lagi bergayut kepada siapa pun.” “Dengan menangis?” “Ya. Dengan menangis.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Dwani. Jika dengan menangis kau dapat mengurangi beban di hatimu, bahkan meyakinkan dirimu sendiri tentang kemandirianmu, lakukanlah.” Dwani tidak menjawab. Namun Nyi Dwani justru sudah tidak menangis lagi. Namun sebenarnyalah Nyi Dwani seakan-akan telah benar-benar berubah. Ia menjadi semakin yakin akan dirinya. Kepercayaannya kepada keyakinannya pun menjadi bertambah. Di malam hari, ketika seisi rumah itu duduk di ruang dalam untuk makan malam, kedatangan Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni telah menjadi bahan pembicaraan. “Kedatangan mereka menjadi satu isyarat,” berkata Agung Sedayu. “Isyarat apa?” bertanya Sekar Mirah. “Isyarat bahwa Ki Saba Lintang sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Dari mana Kakang mengetahuinya?” bertanya Glagah Putih. “Ki Saba Lintang sudah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Nampaknya memang demikian. Kita memang harus tanggap.” “Sebaiknya pasukan pengawal Tanah Perdikan segera ditempatkan sesuai dengan rencana pembagian kekuatan. Besok aku juga akan mengatur pasukanku dan akan langsung ditempatkan. Karena itu, besok pagi-pagi aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Prastawa. Aku minta Glagah Putih ikut bersamaku.” “Baik, Kakang.” “Mungkin kita akan berada di tempat yang terpisah yang satu dengan yang lain,” berkata Agung Sedayu pula, “setiap pasukan akan disertai oleh satu atau dua orang di antara kita.” Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Sedayu. Yang akan mereka hadapi adalah serangan-serangan yang tidak saja datang dari satu arah. Sedikit-sedikitnya mereka harus bersiap menghadapi pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep, dan dari sisi utara, yang berkemah di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sebelum Agung Sedayu pergi ke barak pasukannya bersama Glagah Putih, ia pergi menemui Ki Gede. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu dan Glagah Putih berbincang dengan Ki Gede dan Prastawa, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi serangan yang nampaknya akan segera terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Gede pun sependapat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan serta orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu akan berpencar. “Nanti sore aku akan menghadap lagi, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “siang ini barangkali aku akan mendapat bahan-bahan baru dari para petugas sandi.” “Aku menunggu, Ki Lurah. Sementara itu, aku minta Angger Glagah Putih siang nanti dapat bersama-sama dengan Prastawa menentukan kedudukan para pengawal, sesuai dengan perkembangan keadaan serta kesiagaan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri, sedangkan Glagah Putih masih akan memanggil Sabungsari untuk diajak menemui Prastawa. Dari rumah Ki Gede, Agung Sedayu singgah di rumahnya sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu pun segera berangkat ke baraknya. Hari itu, segala sesuatunya harus sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Di baraknya Agung Sedayu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang, bersama Ki Tumenggung Wirayuda. Beberapa laporan petugas sandi telah melengkapi penilaian mereka terhadap kekuatan lawan yang berada di beberapa tempat di luar Tanah Perdikan. Bersama Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu pun telah membagi kekuatannya. Selain Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di barak itu juga sudah datang, berangsur-angsur sehingga tidak menarik perhatian, prajurit Mataram dari Ganjur. Menghadapi serangan dari pasukan yang kuat, sebagian prajurit yang berada di Ganjur telah diperbantukan kepada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, untuk memantapkan pertahanan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu pun telah menyelenggarakan satu pertemuan dari semua unsur yang ada di Tanah Perdikan. Untuk menghadapi kemungkinan yang dapat datang setiap saat, malam itu juga Agung Sedayu telah mempertemukan Ki Gede Menoreh, Ki Tumenggung Wirayuda, para pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur, serta orang-orang berilmu tinggi yang berada di rumah Agung Sedayu. Untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu telah minta Ki Wijil dan Nyi Wijil untuk tinggal di rumah bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Sambil tertawa Ki Wijil pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan tinggal di rumah.” “Biarlah Sayoga ikut bersama kami, Ki Wijil.” “Aku akan menunggu tugas apa yang dapat aku lakukan menghadapi keadaan yang gawat di Tanah Perdikan ini.” Dalam pada itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Jangan tersinggung Empu. Bagaimanapun juga kami harus berhati-hati.” “Aku mengerti Ki Lurah. Kami tidak merasa tersinggung sama sekali.” Malam itu segala sesuatunya telah ditentukan. Semua pihak telah mendapat tugasnya masing-masing. Mereka terbagi dalam daerah-daerah pertahanan, untuk menghadapi pemusatan tenaga kekuatan dari pasukan yang siap menerkam Tanah Perdikan itu. Untuk memimpin pertahanan itu, semua pihak telah menunjuk Ki Gede Menoreh. “Kemampuanku bukan apa-apa dibanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Gede. “Tetapi pengalaman dan. pengetahuan Ki Gede adalah yang paling luas di antara kita,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “aku tidak lebih dari seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung.” Ki Tumenggung Wirayuda-lah yang menyahut, “Kita tahu, apa yang pernah Ki Gede lakukan semasa Ki Gede masih terhitung muda dahulu.” Ki Gede akhirnya tidak dapat menolak. Ia akan memimpin pertahanan menghadapi kekuatan yang cukup besar yang mengancam Tanah Perdikannya. Tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena Ki Gede adalah pemimpin Tanah Perdikan itu. Malam itu, pertemuan itu pun telah menentukan kekuatan yang akan berpencar di sepanjang perbatasan. Tetapi kekuatan itu akan berpusat pada tiga induk pertahanan ,menghadapi kekuatan lawan yang sedang dihimpun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di sisi utara. Dari para petugas sandi didapat laporan, bahwa kekuatan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga di sisi utara, hampir seimbang, sehingga rencana pertahanannya pun dibuat seimbang pula. Namun demikian, Ki Gede Menoreh juga memerintahkan untuk memperkokoh dinding padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin sekali akan terjadi bahwa di antara pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu, akan ada kelompok-kelompok yang ditugaskan untuk menyusup menusuk langsung ke padukuhan induk. Mereka akan memperhitungkan bahwa padukuhan induk mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi rakyat dan para pengawal Tanah Perdikan. Jika padukuhan induk itu berhasil direbut, maka ketahanan jiwani terutama para pengawal Tanah Perdikan akan berkerut. Mereka seakan-akan merasa kehilangan tempat untuk bertumpu. Jika hal itu terjadi, maka pertahanan di Tanah Perdikan itu akan segera menjadi goyah. Di samping pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan lawan dari ketiga arah itu, maka di Tanah Perdikan pun telah disiapkan pula sekelompok pasukan berkuda, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para petugas sandi, serta penghubung yang akan menghubungkan medan yang satu dengan medan yang lain. Mungkin mereka harus menyampaikan laporan secepatnya kepada Ki Gede atau kepada para pemimpin yang berada di medan. Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede telah memanggil adiknya, Ki Argajaya yang agak lama memilih hidup di dalam satu lingkungan kecil. Sejak saat ia gagal merebut kekuasaan di Tanah Perdikan itu, yang kemudian mendapat pengampunan sehingga ia tidak dijatuhi hukuman yang berat, apalagi hukuman mati, Ki Argajaya merasa lebih baik menyisihkan diri. Tetapi ia seakan-akan telah diwakili oleh anak laki-lakinya, Prastawa, yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Argajaya,” berkata Ki Gede, “sudah waktunya kau bangun.” “Aku sudah tua, Kakang,” jawab Ki Argajaya, “biarlah yang muda-muda itulah yang tampil di medan perang.” “Ya. Yang muda-muda akan tampil di medan perang. Tetapi aku minta kau bantu aku mengendalikan pertahanan ini. Aku telah ditunjuk untuk memimpin pertahanan di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat mengelak, karena aku-lah Kepala Tanah Perdikan ini.” Ki Argajaya ternyata juga tidak dapat mengelak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika Kakang masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadaku, aku akan melakukan perintah-perintah Ki Gede.” Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengendalikan pertempuran dari padukuhan induk. Kita akan mengamati pertempuran lewat para penghubung yang akan hilir mudik ke medan. Tetapi kita pun bersiap menghadapi kemungkinan penyusupan lawan untuk langsung menyerang induk ini.” “Di mana Ki Lurah Agung Sedayu akan berada?” bertanya Ki Argajaya. “Ia akan berada di medan. Ia akan memimpin pasukan untuk menghadapi lawan yang sekarang menimbun kekuatan di Pucang Kerep, dan yang sudah ancang-ancang untuk menyerang.” “Siapa yang akan memimpin pasukan yang berada di sisi selatan, menghadapi kemungkinan serangan dari kekuatan yang berada di Krendetan?” “Ki Lurah Sura Panggah, pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur. Sedangkan Ki Tumenggung Wirayuda akan berkedudukan di barak Pasukan Khusus. Namun mungkin ia akan berada di medan yang dipilihnya sendiri.” “Yang akan memimpin perlawanan di sisi utara untuk menghadapi kekuatan yang ada di sekitar tempuran Kali Elo dan Kali Praga?” “Pimpinan pasukan itu dipercayakan kepada Prastawa.” “Bukankah di antara pasukan itu juga akan terdapat prajurit dari Pasukan Khusus, atau dari antara prajurit yang datang dari Ganjur?” “Ya, Pasukan Khusus dan para prajurit yang datang dari Ganjur akan dibagi di tiga pemusatan pasukan Tanah Perdikan.” “Sebaliknya para pengawal Tanah Perdikan juga akan berada di ketiga tempat itu?” bertanya Ki Argajaya. “Ya,” jawab Ki Gede, “sementara kita akan berada di padukuhan induk ini untuk mengendalikan pertempuran dalam keseluruhan.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku siap untuk melakukannya, Kakang.” “Tetapi tidak mustahil bahwa kita harus bertempur, jika sekelompok lawan berhasil menyusup sampai ke padukuhan induk ini.” “Ya. Aku akan mempersiapkan diriku.” “Menurut pengalaman, hal seperti itu pernah terjadi, sehingga tidak mustahil bahwa hal seperti itu akan terjadi lagi.” “Baik Kakang. Aku akan mempersiapkan diri di rumahku.” “Pintu gerbang padukuhan induk yang sudah diperkuat itu akan ditutup setiap hari. Orang yang masuk dan keluar akan mendapat pengawasan yang ketat. Sementara itu, lalu lintas di Tanah Perdikan ini, kecuali di padukuhan induk, masih dapat berlangsung seperti sebelumnya. Maksudku, jalan-jalan di Tanah Perdikan ini tidak akan ditutup. Mereka yang melintas dari timur ke barat, atau dari barat ke timur atau ke utara, tidak akan dihambat. Sebaiknya kau tinggal di rumah ini.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mulai besok aku akan berada di rumah ini.” Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah ditetapkan menjadi landasan pertahanan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, yang akan bergabung dengan para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta para prajurit yang datang dari Ganjur. Masing-masing pada dasarnya dibagi menjadi empat. Tiga kelompok pasukan akan berada di tiga landasan pertahanan, sementara satu bagian merupakan pasukan cadangan, yang akan turun ke medan setiap saat jika diperlukan. Tidak termasuk pasukan berkuda, pasukan yang bergerak ke mana saja mereka diperlukan. Dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi pula untuk berada di tiga landasan utama pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Beberapa padukuhan yang telah dipersiapkan untuk menjadi landasan pertahanan telah diperkuat. Dinding padukuhan pun telah diperkuat pula. Demikian pula pintu gerbangnya. Beberapa panggungan telah dibangun untuk mengawasi keadaan. Tetapi pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan sekedar bertahan di padukuhan-padukuhan itu. Mereka akan membuat garis pertahanan di luar padukuhan, langsung menghadapi gerak para penyerang, yang ternyata mengambil ancang-ancang cukup panjang. Hanya dalam keadaan yang terpaksa mereka akan memanfaatkan dinding-dinding padukuhan, sementara para penghubung akan memberikan laporan kepada Ki Gede, sehingga Ki Gede akan dapat mengambil kebijaksanaan. Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan, para prajurit dari Pasukan Khusus, maupun para prajurit yang diperbantukan dari Ganjur, telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika perintah itu datang, maka dengan cepat mereka bergerak. Sementara itu para petugas sandi pun telah memberikan laporan, bahwa kegiatan pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga pun telah meningkatkan persiapan mereka. Namun ternyata bahwa pasukan yang siap untuk menyerang Tanah Perdikan itu bekerja cukup cermat. Mereka tidak langsung menyerang dari landasan ancang-ancang mereka. Tetapi mereka telah membuat anak-anak landasan di tempat yang lebih dekat. Para petugas sandi mengikuti perkembangan persiapan orang-orang yang siap menyerang Tanah Perdikan itu. Mereka mengamati kelompok-kelompok yang bertugas untuk berada beberapa ratus patok di hadapan pasukan induk. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bukan baru untuk pertama kali menghadapi kekuatan yang mengancam Tanah Perdikan mereka. Mereka pun pernah menghadapi sepasukan orang-orang yang garang, yang membuat kemah di balik bukit. Mereka juga pernah menghadapi kekuatan yang menyusup sampai ke padukuhan induk. Mereka pun pernah menghadapi berbagai macam lawan. Di luar Tanah Perdikan, sebagian dari mereka pernah bertempur dalam gelar pasukan yang luas. Bahkan terakhir sebagian dari mereka telah ikut pergi ke Pati. Karena itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah mempunyai pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam sifat dan watak lawan. Dari yang kasar, liar dan bahkan buas, sampai mereka yang bertempur dengan mapan dalam gelar yang utuh, serta menganut segala macam pranatan perang, serta mereka yang bertempur dengan licik dan mengesahkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Beberapa hari kemudian, mulai terjadi benturan-benturan antara para peronda dari kedua belah pihak. Para peronda dari Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang memang berpapasan dengan para peronda dari pasukan yang sedang menyusun kekuatan mereka di luar Tanah Perdikan itu. Sementara itu, beberapa kademangan yang berada di garis lurus yang menghubungkan kedua kekuatan yang akan beradu di medan perang itu, harus menentukan kebijaksanaan mereka. Ternyata orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberi peringatan agar mereka tidak ikut campur, agar mereka tidak ikut terlibat dalam pertempuran yang akan banyak menelan korban. Sebaliknya Tanah Perdikan Menoreh pun telah memperingatkan mereka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu pula. “Sebaiknya kalian menghindar. Jauhi medan pertempuran yang akan terjadi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami minta maaf, bahwa pasukan kami mungkin akan merembet keluar garis batas Tanah Perdikan untuk menghancurkan lawan.” Kademangan-kademangan kecil di luar Tanah Perdikan itu menyadari, bahwa mereka memang lebih baik menghindar. Jika dua ekor gajah bertarung, maka mereka lebih baik menyingkir daripada terinjak-injak. Persiapan kedua belah pihak pun menjadi semakin matang. Benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Namun benturan-benturan itu justru dapat dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan untuk menjajaki kemampuan lawan. Dalam pada itu, dalam puncak persiapan dari kedua belah pihak, sekelompok kecil orang telah menyeberangi pegunungan dan turun ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika sekelompok peronda melihat mereka, maka para peronda itu pun segera memotong jalan mereka. “Aku bukan petugas yang sedang meronda,” berkata orang yang berdiri di paling depan. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Saba Lintang.” “Apakah maksud Ki Saba Lintang?” “Aku ingin bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Atau Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya peronda itu. “Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.” Para peronda itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka tidak akan dapat menghambat keinginan sekelompok kecil orang-orang yang akan menemui Ki Gede Menoreh itu. Yang dapat mereka lakukan justru mengawal mereka sampai ke padukuhan induk. Namun dua orang di antara mereka telah memisahkan diri dan pergi ke rumah Agung Sedayu, memberitahukan kehadiran sekelompok kecil orang yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang untuk menemui Ki Gede Menoreh. Karena Agung Sedayu masih berada di barak, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga-lah yang kemudian pergi ke rumah Ki Gede. Ki Gede menerima Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari gerakannya itu di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Sementara itu, para pengawal masih tetap berada di halaman rumah itu, bergabung dengan para pengawal yang sedang bertugas. Namun sebelum mereka mulai berbincang, maka Putih, Sabungsari dan Sayoga telah datang dan dipersilakan naik ke pendapa pula. Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Meskipun demikian, nampak bahwa Ki Saba Lintang tidak senang melihat kehadiran anak muda itu. Ki Saba Lintang pun kemudian telah memperkenalkan diri bersama kawan-kawannya. Dengan tegas Ki Saba Lintang berkata bahwa mereka adalah para pemimpin dari gerakan yang akan membangun kembali perguruan Kedung Jati. “Apakah maksud kalian menemui aku?” bertanya Ki Gede Menoreh. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ki Gede,” jawab Ki Saba Lintang. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang dapat kita bicarakan?” “Banyak, Ki Gede. Kita dapat berbicara tentang banyak hal untuk kepentingan kita bersama.” “Katakan, Ki Saba Lintang. Persoalan apa yang dapat kita bicarakan itu.” “Ki Gede,” berkata Ki Saba Lintang, “dalam tahap akhir dari perjuanganku, aku ingin menawarkan kerja sama kepada Ki Gede.” “Kerja sama apakah yang kau maksudkan itu?” “Aku telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali, Ki Gede. Kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, aku menawarkan kesempatan kepada Ki Gede. Jika Ki Gede mau bekerja bersama kami, maka Ki Gede akan mendapat kesempatan yang lebih luas di masa datang.” “Tegaskan bentuk dari kerja sama itu, Ki Saba Lintang.” “Kami minta Ki Gede menyediakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan perjuanganku menggapai Mataram. Ki Gede tidak usah membantu dalam arti kekuatan. Ki Gede tidak usah menyerahkan kelompok-kelompok pengawal kepada kami. Yang perlu Ki Gede lakukan hanyalah menyediakan pangan dan kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari selama perjuangan kami. Mataram tidak akan dapat bertahan lama. Hanya dalam keadaan memaksa kami minta bantuan kekuatan kepada Ki Gede.” “Tegasnya, Ki Saba Lintang ingin melibatkan kami dalam pemberontakan ini?” “Siapakah yang sebenarnya berontak? Ki Gede tentu tahu, siapakah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Gede tentu tahu bahwa yang sekarang memegang tampuk pimpinan adalah anak Pemanahan. Ki Gede pun tentu tahu, bagaimana Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senapati itu mendapatkan kedudukannya yang sekarang.” “Ya. Aku tahu. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati berusaha mempersatukan Mataram. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati bangkit ketika Pajang kehilangan nafas perjuangannya menyongsong masa depan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, yang terjadi di Pajang adalah bencana, jika saat itu Panembahan Senapati masih belum menegakkan panji-panji pemerintahannya di Mataram.” “Apakah Ki Gede tidak tahu, siapakah yang telah membunuh Kanjeng Sultan, langsung atau tidak langsung?” “Kanjeng Sultan sudah tidak berdaya waktu itu. Perang di Prambanan sekedar satu langkah untuk satu kepastian. Seandainya tidak terjadi perang, seandainya Panembahan Senapati tidak berpijak di Mataram, dan kemudian Kangjeng Sultan wafat, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi di Pajang.” “Khayalan seorang yang tersisih pada waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang, “tanpa Panembahan Senapati, pemerintah Pajang akan berlangsung dengan baik. Kekuasaan akan mengalir tanpa gejolak sama sekali.” “Kau tentu dapat membayangkan apa yang terjadi antara Kanjeng Adipati Demak dan Pangeran Benawa pada saat itu.” “Riak yang kemudian menjadi gelombang yang melanda Pajang waktu itu, timbul karena prahara yang dihembuskan oleh Panembahan Senapati, yang telah lebih dahulu memberontak dan menguasai Mataram.” “Jika demikian, kau-lah yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Apa katamu bahwa Pangeran Benawa justru telah disingkirkan ke Jipang?” “Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang menilai aliran kekuasaan di Pajang. Yang penting sekarang, anak Pemanahan itu akan kami singkirkan. Kami telah mempunyai seorang yang pantas untuk menduduki tahta. Seorang keturunan Prabu Brawijaya.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Aku juga keturunan Prabu Brawijaya. Kau percaya?” “Jangan bergurau, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya.” “Terserah tanggapanmu. Jika kau tidak percaya, aku hargai sikapmu, sebagaimana aku tidak percaya kepada orang yang kau sebut keturunan Brawijaya itu.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Namun ia masih mengendalikan dirinya. Sementara itu, seorang yang berwajah keras dengan janggut pendek yang mulai memutih berkata, “Ki Gede. Jika kami datang kemari, sebenarnyalah kami membawa niat yang baik. Jika kita dapat bekerja bersama, kita akan bersama-sama mendapat keuntungan. Kami tidak akan kehilangan kekuatan, karena bagaimanapun juga pertempuran di Tanah Perdikan ini tentu akan menelan korban. Sementara Ki Gede pun tidak akan kehilangan Tanah Perdikan ini.” “Kenapa aku akan kehilangan Tanah Perdikan ini?” “Jika kami harus merebut tanah perdikan ini dengan kekuatan, maka kami tidak akan melepaskannya lagi meskipun kepada Ki Gede. Kami akan memiliki Tanah Perdikan ini dan memanfaatkan segala isinya, termasuk orang-orangnya.” Jantung Ki Gede berdegup semakin cepat. Tetapi Ki Gede bukan seorang yang mudah hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka Ki Gede itu justru tersenyum. Dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Sanak. Kau ingin bekerja sama dengan Tanah Perdikan ini? Tetapi belum lagi terdapat kesepakatan, kau sudah mengancam. Apakah dengan demikian kita akan mendapatkan satu persetujuan?” Sebelum orang itu menjawab, seorang yang lain yang bertubuh gemuk dan perutnya bagaikan menggelembung, menyahut, “Aku tidak telaten. Ki Saba Lintang, kenapa kau tidak langsung berterus terang saja? Katakan bahwa Ki Gede harus tunduk kepadamu. Jika kau terlalu baik hati, dengan sopan santun yang tinggi serta unggah-ungguh yang lengkap, maka tiga hari tiga malam kita belum selesai bicara.” Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun yang darahnya telah mendidih adalah Prastawa. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Pergilah selagi masih mungkin. Jika isyarat perang sudah berbunyi, maka kalian akan terjebak di Tanah Perdikan ini, dan tidak mungkin untuk keluar lagi.” Tetapi orang yang perutnya besar itu tertawa. Katanya, “Meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, mereka tidak akan dapat menahan kami.” “Biarlah Ki Saba Lintang menjawab,” tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “apakah benar kata orang yang perutnya buncit itu? Apakah benar bahwa meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, tidak akan dapat menangkapnya?” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Ia mengenal beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu, termasuk Glagah Putih itu sendiri. Karena itu untuk beberapa lamanya ia justru terdiam. “Jawablah, Ki Saba Lintang,” desak Glagah Putih. Tetapi Ki Saba Lintang itu pun mengeram. Katanya kemudian, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita hanya membuang-buang waktu saja. Agaknya otak Ki Gede sudah membeku, sehingga ia tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang baik.” “Aku belum yakin,” berkata orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu, “agaknya Ki Gede belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.” Lalu katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Ki Gede tentu tidak senang melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang. Kehancuran, kematian dan bencana lain yang tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, pertimbangkanlah kemungkinan yang lain. Bekerja sama dengan kami.” “Sudahlah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” “Aku tahu, bahwa Ki Gede takut, atau katakan saja segan, kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jangan cemas. Jika Ki Gede bersedia, biarlah kami yang mengurus Agung Sedayu itu.” Ternyata bukan hanya Prastawa yang tidak dapat menahan diri. Glagah Putih pun kemudian berkata, “Apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Agung Sedayu?” Orang yang berjanggut pendek yang sudah mulai memutih itu berkata, “Kau kira Ki Lurah Agung Sedayu tidak terkalahkan, sehingga seluruh dunia harus tunduk kepadanya?” “Katakan, siapa yang akan mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu.” “Untuk apa?” “Jika yang dimaksud adalah kau sendiri, maka aku tantang kau sekarang bertempur dengan jujur. Tidak usah langsung berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” geram Glagah Putih yang menjadi semakin marah. Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita tidak akan melayani gejolak perasaan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Kami datang untuk menawarkan satu bentuk kerja sama bagi Ki Gede. Tetapi Ki Gede tidak mampu melihat jauh ke depan.” Tetapi Ki Gede itu pun berkata, “Pergilah selagi kau sempat, seperti yang dikatakan oleh pimpinan pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan bermimpi bahwa aku akan menerima tawaran kerja sama itu, karena aku tahu bahwa yang kau tawarkan itu tidak lebih dari suatu muslihat yang licik.” “Apa yang pernah Ki Gede lakukan, dan apa yang selalu bergetar di jantung Ki Gede, itulah yang Ki Gede bayangkan dilakukan oleh orang lain.” “Cukup!” bentak Prastawa. “Jangan menyesal,” berkata orang yang berjanggut pendek, “kirimkan petugas sandi kalian untuk melihat persiapan kami. Kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kemudian kami akan meloncati Kali Praga dan menghancurkan Mataram.” Ki Gede tertawa pula. Katanya, “Mataram bukan sekelompok anak-anak yang bermain keraton-keratonan. Tetapi kau tahu bahwa Mataram memiliki pasukan yang kuat.” “Omong kosong,” geram orang yang perutnya buncit, “jika Mataram mampu menguasai daerah di sebelah timur, karena Mataram mendapat bantuan dari Pati, Demak, Grobogan dan Pajang. Ketika Mataram mengalahkan Pati, Mataram mempengaruhi rakyat di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi sudah diserahkan kepada Pati. Meskipun Pati telah membantu Mataram menyusuri daerah timur, tetapi akhirnya Pati dihancurkan pula oleh Panembahan Senapati. Tanpa bantuan dari daerah-daerah itu, Mataram bukan apa-apa lagi.” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Khayalanmu ternyata menarik sekali, Ki Sanak. Tetapi sayang, bahwa kau berkhayal di hadapan orang-orang yang ikut mengalami sebagian besar dari peristiwa yang kau gubah di dalam khayalanmu menurut seleramu itu. Karena itu bagi kami, yang kau ceritakan itu tidak lebih dari sebuah khayalan yang menggelikan.” “Anak setan!” “Jangan hanya mengumpat. Jika kau menantangku, aku layani kau dengan jujur di hadapan saksi-saksi, termasuk Ki Saba Lintang dan kawan-kawanmu itu.” Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Sudah aku katakan. Jangan terpancing oleh mulut anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka memancing persoalan. Namun mereka tidak akan benar-benar jujur. Mereka dapat membuat cerita apa saja untuk memberikan kesan bahwa mereka berhak berbuat curang.” “Tetapi kata-katanya membuat telingaku menjadi merah.” “Kita tinggalkan tempat ini. Jika terjadi sesuatu, Ki Gede akan menyesal. Tetapi tentu bukan salah kita. Kita sudah menunjukkan niat baik kita dengan menawarkan kerja sama kepadanya. Jika ia menolak, itu salahnya sendiri.” Orang yang perutnya buncit, yang berjanggut tipis keputih-putihan, dan orang-orang yang menyertai Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah bangkit. Dengan nada berat Ki Saba Lintang pun berkata, “Kami minta diri, Ki Gede. Kami masih memberi kesempatan Ki Gede untuk berpikir selama tiga hari. Selama itu, Ki Gede aku persilakan untuk mengirimkan orang-orang Ki Gede untuk melihat persiapan kami. Mungkin penglihatan mereka akan dapat membantu Ki Gede untuk mengambil keputusan.” “Aku sudah mendapat laporan tentang orang-orangmu yang sedang kau persiapkan untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Kami menempatkan orang-orang kami Ki Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.” “Aku sudah tahu,” jawab Ki Gede. “Bagus. Tetapi Ki Gede tentu belum tahu kekuatan kami yang sesungguhnya. Jika Ki Gede menghendaki, kirimlah beberapa orang untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Asal mereka membawa kelebet putih, maka kami tidak akan mengganggu mereka.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Satu tawaran yang menarik, Ki Saba Lintang. Biarlah pada saatnya pasukan Tanah Perdikan datang untuk melihat kekuatan yang Ki Saba Lintang siapkan. Tetapi kami tidak akan membawa kelebet putih. Kami justru akan membawa pedang dan tombak serta perisai.” Ki Saba Lintang menggertakkan giginya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Yang penting, ia sudah mencoba untuk menggetarkan ketahanan jiwani pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun di hadapannya para pemimpin itu tidak menunjukkan kecemasan dan bahkan seakan-akan menertawakannya, tetapi Ki Saba Lintang berharap bahwa Ki Gede akan merenungkannya kemudian. Bahkan kemudian benar-benar mengirimkan petugas sandinya untuk melihat persiapan pasukannya yang akan menyerang Tanah Perdikan. Ki Saba Lintang yakin, jika para petugas sandi Tanah Perdikan melihat pasukan yang disiapkan, maka Ki Gede akan berpikir dua kali untuk menolak kerja sama dengan Ki Saba Lintang. Ketika kemudian Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya meninggalkan padukuhan induk, maka sekelompok peronda telah mengawalnya. Pemimpin peronda itu berkata kepada Ki Saba Lintang, “Kami akan mengantar Ki Saba Lintang sampai ke perbatasan.” “Terserah kalian,” jawab Ki Saba Lintang, “kami tidak memerlukan pengawalan.” “Hanya untuk menjaga kesalah-pahaman,” berkata pemimpin kelompok pengawal itu. “Kami tidak takut seandainya terjadi salah paham.” “Kami percaya. Yang kami tidak percaya adalah, bahwa kalian tidak akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan.” “Kami tidak ingkar,” jawab Ki Saba Lintang, “ternyata bahwa persiapan Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memadai bagi sebuah pertahanan. Kalian harus tahu, bahwa jika Ki Gede dalam tiga hari ini tidak menyatakan kesediaannya untuk bekerja bersama, maka medan perang yang akan terjadi tidak hanya di sepanjang perbatasan. Tidak pula sekedar di depan Krendetan, Pucang Kerep dan sisi utara Tanah Perdikan. Tetapi di atas setiap jengkal Tanah Perdikan ini akan terjadi perang. Darah orang-orang Tanah Perdikan akan tertumpah. Di dalam perang yang sengit, kami tidak akan dapat membedakan lagi, pengawal Tanah Perdikan, laki-laki tua, perempuan dan kanak-kanak. Jika tanah di atas Tanah Perdikan kemudian ditutup oleh warna darah, itu bukan salah kami.” “Alangkah dahsyatnya,” desis pemimpin pengawal itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi pertempuran yang sedahsyat apapun tidak akan menggetarkan kami. Perang di atas Tanah Perdikan ini bukan baru pertama kali ini terjadi.” “Persetan!” geram Ki Saba Lintang. Namun ia tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat diikuti oleh kawan-kawannya. Sepeninggal Ki Saba Lintang, Ki Gede pun kemudian berbicara dengan orang-orang yang ada di pendapa. Ki Argajaya, Prastawa, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga. Dengan nada dalam, Ki Gede itu pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya sangat kuat, sehingga yakin akan dapat merebut Tanah Perdikan ini. Bahkan ia ingin memamerkan kekuatannya, dengan memberi kesempatan kepada petugas sandi kita untuk melihat persiapannya di perkemahannya.” “Satu gerakan yang nampaknya meyakinkan. Tetapi menurut pendapatku, Ki Saba Lintang hanya ingin mengguncang ketahanan jiwa kita.” bersambung Posted in Buku 311 - 320 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Ki Juru Martani / Ki Patih Mandaraka, Ki Saba Lintang, Nyi Dwani, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra
ApiDi Bukit Menoreh. February 3, 2016 ·. Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda di atas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan kuda Kiai Gringsing. Di dalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak di atas
> Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3 DownloadApi Di Bukit Menoreh. By GANTRABUMI 18.13 3 comments. Api Dibukit Menoreh 01 - 25. Api Dibukit Menoreh 26 - 50. Api Dibukit Menoreh 51 - 75. Api Dibukit Menoreh 76 - 100. Api Dibukit Menoreh Seri 2 (Jilid 100 - 200) Api DiBukit Manoreh Seri 3 (Jilid 201-300) Api Dibukit Menoreh Seri 4 (Jilid 301 - 396)
Apidi Bukit Menoreh. S.H. Mintardja Daftar Isi Seri I Jilid 1 Seri I Jilid 2 Seri I Jilid 3 Bagas Mahadika A. P. Api di Bukit Menoreh 1 Buku 001 (Seri I Jilid 1) Sekali-sekali terdengar petir bersambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas
ApiDi Bukit Manoreh Seri 2 (Jilid 101-200).pdf. Api Di Bukit Manoreh Seri 2 (Jilid 101-200).pdf. Sign In. Details LanjutanApi Di Bukit Menoreh. Cerita Tiongkok Kuno, tahun 1000an. Bercerita tentang 4 Perguruan Terbesar : Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau serta gejolak Dunia Persilatan Tionggoan.

SunMountain Overview. The above offers are undoubtedly the best Sun Mountain discounts over the internet. As of now, CouponAnnie has 14 discounts in sum regarding Sun Mountain , including 1 code, 13 deal, and 2 free shipping discount. For an average discount of 37% off, shoppers will receive the lowest price reductions up to 80% off.

Sunting Api di Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan [ [S Berkas:Contoh.jpg. H. Mintardja]]. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku. ==Artikel pribadi== * Sejarah Kerajaan di Jawa dan Api di bukit Menoreh oleh Audy Wuisang. Tulisan ini adalah tulisan rintisan.

-> Api Dibukit Menoreh Jilid 59 Lasopamental . Mar 18, 2017 · api di bukit menoreh. topics dokumen collection opensource media. api di bukit menoreh lengkap ad TentangKelanjutan Api di Bukit Menoreh. by kibanjarasman 16/10/2017 6 13783. Kisah silat legendaris dengan tokoh utama Agung Sedayu ini benar-benar karya luar biasa dari almarhum Ki Mintardja yang wafat tahun 2002. Kisah ini berakhir pada jilid 396 dan tidak ada kelanjutannya lagi semenjak beliau wafat. Kisah ini saya baca sejak duduk di Apidi Bukit Menoreh 92 By admin • Nov 24th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, SHM - Api dibukit Menoreh [1] Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kuda-kuda mereka.Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka masih saja cfudrT.